Siapa yang tak tahu pos ronda? Hampir tiap orang di Indonesia tentu tahu karena di setiap kampung di Indonesia terdapat pos ronda. Namun siapa yang tahu sejarah pos ronda? Mungkin tidak semua orang tahu. Melalui buku inilah kita jadi tahu sejarah pos ronda.
Sejarah pos ronda berawal dari pos-pos penjaga di jaman colonial. Ketika itu pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.
Tapi sejak era kemerdekaan bekas pos-pos penjagaan Belanda atau Jepang diambil alih oleh pribumi. Pengambilalihan itu disertai dengan perubahan fungsi. Bila pada era sebelumnya penguasa kolonial yang mengawasi pribumi, maka sejak era kemerdekaan orang Belanda atau Jepang yang diawasi.
Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan (Sisklamling).
Setelah Soeharto lengser pada 1998, gardu-gardu baru muncul ketika Indonesia menghadapi pemilihan umum 1999. Posko-posko Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menandai lahirnya sejarah gardu baru Indonesia sekaligus memberi makna baru.
Posko PDIP didirikan untuk menandai “kandang banteng”. Ketika itu posko PDIP menandai kekuasaan politik Megawati. Selain posko PDIP, biasanya juga didirikan podium. Podium adalah panggung setinggi 3-5 meter yang mengingatkan orang kepada tempat pidato Soekarno. Seperti diketahui, Soekarno adalah ayah Megawati, Ketua Umum PDIP yang pada 1999 sedang berjuang memenangkan pemilihan umum.
Jumat, 08 Oktober 2010
Minggu, 03 Oktober 2010
Jur. Ilm. Kel. dan Kons., Agustus 2009, p : 137-142 Vol. 2, No. 2
ISSN : 1907 - 6037
DUKUNGAN KELUARGA, PENGETAHUAN, DAN PERSEPSI IBU
SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STRATEGI KOPING IBU
PADA ANAK DENGAN GANGGUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
Family Support, Mother’s Knowledge and Perception of ASD, and Its Correlation with
Coping Strategy of Mothers with Autism Spectrum Disorder (ASD) Children
LIA MILYAWATI1, DWI HASTUTI2*
1Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680
2Staf Pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Kampus IPB Dramaga,
Bogor 16680
ABSTRACT. The objective of study was to understand family support, mother’s
knowledge and perception of ASD and its association with coping strategy of
mothers with ASD children. The study used a cross-sectional study design and
conducted at Sekolah Khusus AL-IHSAN in Tangerang and in Cilegon,
Banten. The samples of the study were 31 mothers with ASD children who were
participated at AL-IHSAN and were available to be interviewed. The study
conducted at February until May 2008 which included data collecting, data
processing, and data analyzing. Instrumen used in the study was a modification
of Coping Health Inventory for Parents (CHIP) by McCubbin and Patterson
(1987). Data analyzing used was descriptive statistics, paired sample T-test,
Rank-Spearman correlation, and Chi-Square. Result of the study showed that
family support was considered as low (45,2%) and high or very high (54,8%).
Mother’s knowledge mostly good, which classified as moderate and high
(93,5%), while those classified as low was only 6,5%. In term of mother’s
perception there were 45,2% mothers who still had negative perception toward
ASD child. There was differences in term of coping mechanism strategy which
was mostly to maintain family stability, optimism and cooperation at present,
while before were mostly to seek assistance for medical treatment. The younger
age of mothers and fathers, the stronger family support they received. Mother’s
perception of ASD children tend to be positive when the age of ASD children is
younger and the length of therapy is shorter. The characteristics of family,
family support, mother’s knowledge, and perception of ASD children had no
significant correlation with coping strategy used by mothers as their effort to
reduce some pressures in taking care of ASD children.
Key words: autism, coping strategy, family support, mother’s knowledge
and perception
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
adalah gangguan perkembangan terutama
dalam berperilaku, yang secara
umum disebabkan oleh kelainan struktur
otak atau fungsi otak. ASD ini terlihat
sebelum anak berusia tiga tahun dan
dapat diketahui dari interaksi sosial dan
komunikasi yang terbatas dan berulangulang.
Penyandang ASD semakin
meningkat di seluruh dunia. Pada tahun
2006 diperkirakan prevalensi jumlah
penyandang ASD 1:100 kelahiran (Kelana
& Elmy 2007). Di Indonesia hingga saat
ini penyandang ASD belum diketahui
secara pasti jumlahnya, akan tetapi
diperkirakan lebih dari 400.000 orang
(Kelana & Elmy 2007).
Halroyd dan Mc Arthur (1976) dalam
Tobing (2004) menyatakan bahwa ibu
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
dengan anak ASD memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
yang memiliki anak Down Syndrome.
Selain itu, orang tua dengan anak ASD
memiliki stres yang lebih besar
dibandingkan orang tua dengan anak
yang menderita kesulitan belajar
(Konstantareas 1992 dalam Tobing 2004)
dan retardasi mental (Donovan 1988
dalam Tobing 2004). Stres tersebut dapat
berpengaruh pada peran ibu terutama
dalam merawat, mengasuh, dan mendidik
anak.
Strategi koping yang efektif
diharapkan mampu mengurangi stres ibu
dalam menghadapi anak ASD sehingga
dapat melaksanakan peran pengasuhannya
dengan baik. Strategi koping keluarga
yang dikembangkan oleh McCubbin dan
Patterson (1987) yaitu Coping Health
Inventory for Parents (CHIP). Strategi
koping tersebut dibedakan ke dalam tiga
pola yaitu Pola I mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama, dan
situasi optimis; Pola II memelihara
dukungan sosial, kepercayaan diri, dan
stabilitas psikologis; Pola III memahami
situasi medis melalui komunikasi antar
orang tua dan konsultasi dengan staf
medis (McCubbin & Thompson 1987).
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui strategi koping ibu pada anak
dengan gangguan Autism Spectrum
Disorder (ASD), termasuk bentuk
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD.
Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik
anak dan karakteristik keluarga dari anak
ASD; (2) mengidentifikasi dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD; (3) menganalisis
perbedaan strategi koping yang
digunakan ibu pada saat ini dan pada
saat pertama mengetahui anak
mengalami gangguan ASD; (4)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD; dan (5)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD dengan strategi
koping yang digunakan saat ini.
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study. Penelitian
ini dilakukan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Cilegon dan Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang. Lokasi ini ditentukan secara
purposive. Penelitian dilakukan mulai
bulan Februari hingga Mei 2008 yang
meliputi pengumpulan, pengolahan, serta
analisis data.
Teknik Penarikan Contoh
Kriteria contoh dalam penelitian ini
adalah ibu yang memiliki anak ASD yang
sedang melakukan terapi di Sekolah
Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah
Khusus Al-Ihsan Tangerang dan bersedia
untuk diwawancarai. Jumlah anak ASD di
Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon adalah
20 anak dan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang adalah 39 anak. Jumlah anak
dari kedua tempat tersebut adalah 59
anak ASD. Jumlah contoh yang bersedia
diwawancarai dan digunakan sebagai
contoh dalam penelitian ini adalah 31 ibu
dan anaknya.
Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara langsung
dengan ibu dari anak ASD dengan
menggunakan kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik anak ASD (usia dan
jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia
contoh dan suami, lama pendidikan
contoh dan suami, jenis pekerjaan contoh
dan suami, besar dan tipe keluarga,
pendapatan keluarga), pengetahuan
contoh mengenai ASD, dukungan
keluarga, persepsi contoh terhadap ASD,
dan strategi koping. Data sekunder yaitu
mengenai keadaan umum Sekolah
Khusus Al-Ihsan meliputi profil sekolah,
jumlah terapi, identitas dan jumlah anak
ASD yang diperoleh dari Tata Usaha
Yayasan.
Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang diperoleh diolah
dengan menggunakan program komputer
Microsoft Excel dan SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) 10.0 for
Windows. Proses pengolahan mencakup
langkah-langkah editing, coding, scoring,
entry, cleaning, dan analisis data.
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 139
Pengkategorian variabel dukungan
keluarga dan persepsi didasarkan pada
median skor kelompok. Pengukuran
variabel strategi koping contoh berdasarkan
pada strategi koping untuk orang tua
atau CHIP dari McCubbin dan Thompson
(1987) yang telah disesuaikan. Penentuan
kategori kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh berdasarkan pada
persentase skor jawaban untuk masingmasing
pola koping. Persentase skor
terbesar dari ketiga pola koping akan
menentukan kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh dalam merawat
anak ASD.
Seluruh data primer yang terkumpul
kemudian dianalisis secara deskriptif. Uji
statistik yang digunakan adalah paired
sample T-test, korelasi Spearman dan
chi-square. Paired sample T-test untuk
mengetahui perbedaan antara strategi
koping contoh saat pertama mengetahui
anak menderita ASD dan saat ini. Uji
korelasi Spearman digunakan untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik
anak dan keluarga dengan pengetahuan
contoh, dukungan keluarga, dan persepsi
contoh terhadap anak ASD. Uji chi-square
digunakan untuk melihat hubungan
strategi koping contoh berdasarkan karakteristik
keluarga, dukungan keluarga,
pengetahuan, dan persepsi contoh
terhadap anak ASD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Anak
Dumas dan Nielsen (2003) menyatakan
bahwa peluang ASD pada anak lakilaki
lebih besar dibandingkan dengan
perempuan, yakni empat hingga lima kali
lebih besar dibandingkan anak perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 80,6% anak yang menderita ASD
adalah laki-laki dan sisanya 19,4% adalah
perempuan. Lebih dari separuh anak
(54,9%) yang menderita ASD berusia ≥96
bulan dan hanya 3,2% yang berusia 36-
47 bulan. Hampir separuh anak ASD
(45,2%) telah diterapi selama 41-88 bulan
dan 29% anak ASD telah diterapi selama
≥89 bulan.
Karakteristik Keluarga
Usia. Sebanyak 61,3% ibu contoh
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
38,0±5,73 tahun. Sebesar 45,2% suami
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
41,81±6,58 tahun.
Lama Pendidikan. Tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dalam kehidupan seharihari.
Lebih dari separuh ibu dan suami
(61,3%) menyelesaikan pendidikannya
selama ≥15 tahun atau setingkat dengan
tamat perguruan tinggi. Rata-rata lama
pendidikan ibu adalah 14,13±2,17 tahun,
sedangkan rata-rata lama pendidikan
suami adalah 14,61±2,25 tahun.
Jenis Pekerjaan. Jenis pekerjaan
dapat menggambarkan besarnya
pendapatan yang diperoleh anggota
keluarga. Sebagian besar ibu (74,2%)
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah
tangga dan 25,8% ibu bekerja di luar
rumah, sedangkan mayoritas suami
bekerja sebagai pegawai swasta (41,9%)
dan sisanya bekerja sebagai wiraswasta
(35,6%), PNS (16,1%), dan tentara
(3,2%) serta terdapat suami yang tidak
bekerja (3,2%) dikarenakan baru saja di
PHK.
Besar dan Tipe Keluarga. Menurut
Hurlock (1991) besar keluarga
dikelompokkan menjadi tiga yaitu
keluarga kecil (≤4 orang), keluarga
sedang (5-7 orang), dan keluarga besar
(≥8 orang). Sebesar 48,4% keluarga
contoh merupakan keluarga sedang,
41,9% keluarga kecil, dan 9,7% keluarga
besar. Selain itu, contoh yang memiliki
tipe keluarga inti sebanyak 61,3% dan
38,7% memiliki tipe keluarga luas, dimana
terdapat anggota keluarga lain yang juga
tinggal bersama dengan keluarga inti
(Hurlock 1991).
Pendapatan dan Alokasi Dana
untuk Terapi ASD. Sebagian besar
keluarga contoh merupakan keluarga
dengan status sosial ekonomi yang tinggi.
Sebanyak 35,5% ibu memiliki pendapatan
keluarga sebesar Rp 2.510.000,00 -
Rp 5.000.000,00 per bulan, dan 19,4%
pendapatan keluarga sebesar
Rp 5.100.000,00 - Rp 7.500.000,00 per
bulan, serta 16,1% memiliki pendapatan
lebih dari Rp 15 juta per bulan. Dana
yang dialokasikan khusus untuk anak
ASD lebih dari Rp 1,2 juta per bulan
(41,9%). Rata-rata dana yang dialokasikan
keluarga adalah sebesar
Rp 1.484.065,00±1.323.070,72. Dana ini
digunakan untuk membayar biaya terapis
atau dokter, obat/suplemen, dan biaya
pengasuhan anak ASD per bulan.
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah
dukungan yang diberikan oleh keluarga
baik keluarga inti maupun keluarga luas
terhadap ibu yang memiliki anak ASD.
Sebanyak 45,2% ibu mendapatkan
dukungan keluarga yang kurang kuat dan
41,9% ibu mendapatkan dukungan
keluarga yang kuat dan hanya 12,9% ibu
yang mendapatkan dukungan keluarga
sangat kuat baik dari keluarga inti
maupun keluarga luas.
Pengetahuan Ibu Mengenai ASD
Pengetahuan mengenai ASD ini
penting untuk memahami anak ASD
sehingga dapat melakukan perawatan
dengan tepat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari separuh ibu (51,6%)
memiliki pengetahuan yang baik
mengenai ASD dan 41,9% ibu berpengetahuan
sedang serta hanya 6,5% ibu
yang memiliki pengetahuan kurang
mengenai ASD. Sebagian besar ibu
mengetahui bahwa ASD bukanlah suatu
penyakit keturunan dan paling banyak
penyandang ASD adalah anak laki-laki.
Sebagian besar ibu memiliki pengetahuan
yang baik mengenai makanan yang perlu
dihindari oleh anak ASD. Oleh karena itu,
para ibu melakukan diet bebas gluten
(dari sumber makanan seperti gandum,
oat, barley, makanan bertepung) dan
casein (terdapat pada susu, mentega,
keju, yoghurt, laktosa, whey, dll.) pada
anak karena gluten dan casein dapat
mengakibatkan perkembangan anak
menjadi menurun.
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Persepsi merupakan suatu hasil dari
pengalaman seseorang terhadap objek,
peristiwa atau keadaan. Oleh karena itu,
setiap individu akan memiliki persepsi
yang berbeda dalam menghadapi
masalah anak ASD. Lebih dari separuh
ibu (54,8%) memiliki persepsi yang positif
terhadap anak ASD dan 45,2% ibu yang
memiliki persepsi negatif terhadap anak
ASD.
Strategi Koping Ibu
Strategi koping merupakan suatu
usaha atau upaya tingkah laku seseorang
untuk menguasai, mengurangi, dan
menoleransi tuntutan atau masalah yang
sedang dihadapi. Lebih dari separuh ibu
(54,8%) pada saat ini menggunakan
strategi koping mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama dan
optimis (pola I) dan tidak ada yang
menggunakan strategi koping dengan
memelihara dukungan sosial, kepercayaan
diri, dan stabilitas psikologis (pola II).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bristol (1984) dalam McCubbin dan
Thompson (1987) pun mengungkapkan
bahwa strategi koping yang dilakukan
oleh ibu yang memiliki anak ASD adalah
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis (pola I).
Sedangkan pada saat pertama kali ibu
mengetahui anak menderita ASD, lebih
dari separuh ibu (54,8%) menggunakan
strategi koping dengan memahami situasi
dan komunikasi antar orang tua ASD dan
dengan staf medis (pola III) (Tabel 1).
Perbedaan Strategi Koping
Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara strategi koping saat
pertama kali mengetahui anak ASD dan
saat ini (p-value=0,070, α=0,1) (Tabel 1).
Diketahui bahwa pada saat pertama,
strategi koping yang lebih banyak
digunakan oleh ibu adalah strategi koping
pola III. Dengan berkomunikasi
Tabel 1. Sebaran strategi koping ibu saat pertama mengetahui anak ASD dan saat ini
Strategi Koping Saat Pertama Saat Ini
n % n %
Pola I : Mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis 12 38,7 17 54,8
Pola II : Memelihara dukungan sosial, kepercayaan diri,
dan stabilitas psikologis 2 6,5 0 0,0
Pola III : Memahami situasi medis melalui komunikasi
antar orang tua ASD dan konsultasi dengan staf
medis
17 54,8 14 45,2
Total 31 100,0 31 100,0
p-value 0,070*
Keterangan : (*) = signifikan pada taraf alpha 0,1
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 141
dan berkonsultasi dengan orang yang
memahami mengenai ASD ternyata
dapat memperoleh informasi dan dapat
saling bertukar pengalaman sehingga
dapat memperluas wawasan ibu
mengenai ASD. Hal tersebut dapat lebih
mempermudah ibu untuk memahami
ASD sehingga dapat menerima keadaan
anak ASD dalam keluarga.
Akan tetapi, saat ini strategi koping
yang digunakan oleh ibu adalah strategi
koping pola I. Ibu merasakan bahwa
dukungan dari keluarga ternyata lebih
dapat membantu contoh meringankan
beban dalam merawat anak ASD.
Dukungan keluarga ternyata menjadikan
ibu menjadi lebih optimis, bersemangat
dan selalu bersyukur, serta lebih percaya
diri sehingga membantu ibu meringankan
beban yang dirasakan dalam merawat
anak ASD. Selain itu, kerjasama dari
semua anggota keluarga dalam merawat
anak ASD sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan dan
kemandirian anak ASD.
Faktor yang Berhubungan dengan
Dukungan Keluarga, Pengetahuan dan
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Hasil analisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga menunjukkan bahwa
usia ibu berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,413, p-value=0,021) begitu pula usia
suami berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,387, p-value=0,031). Semakin muda
usia ibu dan suami, dukungan keluarga
yang diperoleh semakin kuat. Namun,
tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara karakteristik keluarga dan anak
dengan pengetahuan ibu mengenai ASD.
Sementara itu, usia anak ASD
berhubungan negatif signifikan dengan
persepsi ibu terhadap anak ASD
(r-koefisien=-0,464, p-value=0,008).
Begitu pula lama terapi berhubungan
negatif signifikan dengan persepsi ibu
(r-koefisien=-0,389, p-value=0,03).
Semakin muda usia anak ASD dan
semakin singkat anak ASD di terapi,
persepsi ibu terhadap anak ASD
cenderung positif.
Faktor yang Berhubungan dengan
dengan Strategi Koping Ibu
Karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan serta persepsi
ibu terhadap anak ASD ternyata tidak
berhubungan signifikan dengan strategi
koping yang digunakan oleh ibu dalam
upaya meringankan tekanan yang
dihadapi dalam merawat anak ASD. Hal
ini diduga bahwa strategi koping yang
diterapkan oleh ibu berhubungan dengan
kepribadian ibu dan tingkat perkembangan
anak ASD, dimana variabel tersebut
tidak diteliti dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hampir separuh ibu (45,2%)
memperoleh dukungan keluarga yang
kurang kuat. Namun lebih dari separuh
ibu (51,6%) memiliki pengetahuan yang
baik mengenai ASD dan memiliki
persepsi positif terhadap anak ASD
(54,8%).
Strategi koping ibu yang banyak
digunakan pada saat pertama kali
mengetahui anak ASD adalah
memahami situasi medis melalui
komunikasi antar orang tua dan
konsultasi dengan staf medis (54,8%)
(pola III). Akan tetapi, strategi koping
yang digunakan oleh ibu pada saat ini
adalah strategi koping pola I yaitu
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan situasi optimis (54,8%)
dan tidak ada yang ibu yang
menggunakan strategi koping pola II
yaitu memelihara dukungan sosial,
kepercayaan diri, dan stabilitas
psikologis. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara strategi koping saat pertama
dengan strategi koping yang digunakan
ibu pada saat ini.
Dukungan keluarga relatif lebih
tinggi pada ayah dan ibu dengan umur
yang lebih muda (r=-0,413 pada ibu dan
r=-0,387 pada ayah). Sementara
pengetahuan ibu tentang ASD tidak
berhubungan dengan karakteristik
keluarga maupun anak. Persepsi ibu
tentang ASD semakin baik pada anak
yang lebih muda (r=-0,464) dan pada
anak yang baru mengikuti terapi
(r=-0,389). Karakteristik keluarga dan
anak, dukungan keluarga, pengetahuan
142 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
serta persepsi ibu tidak berhubungan
signifikan dengan strategi koping.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengambil contoh
secara acak dari populasi yang besar
dan berasal dari karakteristik keluarga
yang beragam. Untuk orang tua yang
mungkin belum bisa menerima anak ASD
atau memiliki persepsi negatif terhadap
anak ASD di dalam keluarga maka
diperlukan suatu strategi koping yang
dapat membantu ibu dalam menerima
anak ASD. Strategi koping tersebut
antara lain dengan berdoa dan bersyukur
kepada Tuhan YME, meningkatkan
kepercayaan diri dan mengontrol emosi
sehingga menciptakan rasa optimis
dalam merawat anak ASD, mendapatkan
dukungan dari semua anggota keluarga,
serta selalu mencari informasi dan
berkonsultasi dengan dokter, terapis dan
orang tua yang juga memiliki anak ASD.
Diperlukan pula kasih sayang yang tulus
dalam merawat dan melakukan terapi
dan pengobatan medis pada anak ASD.
DAFTAR PUSTAKA
Dumas JE, Nilsen WJ. 2003. Abnormal
Child and Adolescent Psychology.
Boston: Allyn and Bacon.
Kelana A, Elmy DL. 2007. Kromosom
Abnormal Penyebab Autisme
[terhubung berkala].
www.gatra.com/artikel.php?id=1028
73. [28 Agustus 2007].
McCubbin HI, Thompson AI, editor. 1987.
Family Assesment Inventories for
Research and Practice. Madison:
University of Winconsin.
Tobing LE. 2004. Stres, Coping, and
Psychological Distress of Mother of
Children with Pervasive
Development Disorders. Psychology
Journal. [15 Januari 2008].
* Korespondensi :
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Jl. Lingkar Kampus IPB Dramaga 16680
Telp : +62-251 8628303
Email : tutimartianto@yahoo.com
ISSN : 1907 - 6037
DUKUNGAN KELUARGA, PENGETAHUAN, DAN PERSEPSI IBU
SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STRATEGI KOPING IBU
PADA ANAK DENGAN GANGGUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
Family Support, Mother’s Knowledge and Perception of ASD, and Its Correlation with
Coping Strategy of Mothers with Autism Spectrum Disorder (ASD) Children
LIA MILYAWATI1, DWI HASTUTI2*
1Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680
2Staf Pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Kampus IPB Dramaga,
Bogor 16680
ABSTRACT. The objective of study was to understand family support, mother’s
knowledge and perception of ASD and its association with coping strategy of
mothers with ASD children. The study used a cross-sectional study design and
conducted at Sekolah Khusus AL-IHSAN in Tangerang and in Cilegon,
Banten. The samples of the study were 31 mothers with ASD children who were
participated at AL-IHSAN and were available to be interviewed. The study
conducted at February until May 2008 which included data collecting, data
processing, and data analyzing. Instrumen used in the study was a modification
of Coping Health Inventory for Parents (CHIP) by McCubbin and Patterson
(1987). Data analyzing used was descriptive statistics, paired sample T-test,
Rank-Spearman correlation, and Chi-Square. Result of the study showed that
family support was considered as low (45,2%) and high or very high (54,8%).
Mother’s knowledge mostly good, which classified as moderate and high
(93,5%), while those classified as low was only 6,5%. In term of mother’s
perception there were 45,2% mothers who still had negative perception toward
ASD child. There was differences in term of coping mechanism strategy which
was mostly to maintain family stability, optimism and cooperation at present,
while before were mostly to seek assistance for medical treatment. The younger
age of mothers and fathers, the stronger family support they received. Mother’s
perception of ASD children tend to be positive when the age of ASD children is
younger and the length of therapy is shorter. The characteristics of family,
family support, mother’s knowledge, and perception of ASD children had no
significant correlation with coping strategy used by mothers as their effort to
reduce some pressures in taking care of ASD children.
Key words: autism, coping strategy, family support, mother’s knowledge
and perception
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
adalah gangguan perkembangan terutama
dalam berperilaku, yang secara
umum disebabkan oleh kelainan struktur
otak atau fungsi otak. ASD ini terlihat
sebelum anak berusia tiga tahun dan
dapat diketahui dari interaksi sosial dan
komunikasi yang terbatas dan berulangulang.
Penyandang ASD semakin
meningkat di seluruh dunia. Pada tahun
2006 diperkirakan prevalensi jumlah
penyandang ASD 1:100 kelahiran (Kelana
& Elmy 2007). Di Indonesia hingga saat
ini penyandang ASD belum diketahui
secara pasti jumlahnya, akan tetapi
diperkirakan lebih dari 400.000 orang
(Kelana & Elmy 2007).
Halroyd dan Mc Arthur (1976) dalam
Tobing (2004) menyatakan bahwa ibu
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
dengan anak ASD memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
yang memiliki anak Down Syndrome.
Selain itu, orang tua dengan anak ASD
memiliki stres yang lebih besar
dibandingkan orang tua dengan anak
yang menderita kesulitan belajar
(Konstantareas 1992 dalam Tobing 2004)
dan retardasi mental (Donovan 1988
dalam Tobing 2004). Stres tersebut dapat
berpengaruh pada peran ibu terutama
dalam merawat, mengasuh, dan mendidik
anak.
Strategi koping yang efektif
diharapkan mampu mengurangi stres ibu
dalam menghadapi anak ASD sehingga
dapat melaksanakan peran pengasuhannya
dengan baik. Strategi koping keluarga
yang dikembangkan oleh McCubbin dan
Patterson (1987) yaitu Coping Health
Inventory for Parents (CHIP). Strategi
koping tersebut dibedakan ke dalam tiga
pola yaitu Pola I mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama, dan
situasi optimis; Pola II memelihara
dukungan sosial, kepercayaan diri, dan
stabilitas psikologis; Pola III memahami
situasi medis melalui komunikasi antar
orang tua dan konsultasi dengan staf
medis (McCubbin & Thompson 1987).
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui strategi koping ibu pada anak
dengan gangguan Autism Spectrum
Disorder (ASD), termasuk bentuk
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD.
Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik
anak dan karakteristik keluarga dari anak
ASD; (2) mengidentifikasi dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD; (3) menganalisis
perbedaan strategi koping yang
digunakan ibu pada saat ini dan pada
saat pertama mengetahui anak
mengalami gangguan ASD; (4)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD; dan (5)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD dengan strategi
koping yang digunakan saat ini.
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study. Penelitian
ini dilakukan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Cilegon dan Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang. Lokasi ini ditentukan secara
purposive. Penelitian dilakukan mulai
bulan Februari hingga Mei 2008 yang
meliputi pengumpulan, pengolahan, serta
analisis data.
Teknik Penarikan Contoh
Kriteria contoh dalam penelitian ini
adalah ibu yang memiliki anak ASD yang
sedang melakukan terapi di Sekolah
Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah
Khusus Al-Ihsan Tangerang dan bersedia
untuk diwawancarai. Jumlah anak ASD di
Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon adalah
20 anak dan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang adalah 39 anak. Jumlah anak
dari kedua tempat tersebut adalah 59
anak ASD. Jumlah contoh yang bersedia
diwawancarai dan digunakan sebagai
contoh dalam penelitian ini adalah 31 ibu
dan anaknya.
Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara langsung
dengan ibu dari anak ASD dengan
menggunakan kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik anak ASD (usia dan
jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia
contoh dan suami, lama pendidikan
contoh dan suami, jenis pekerjaan contoh
dan suami, besar dan tipe keluarga,
pendapatan keluarga), pengetahuan
contoh mengenai ASD, dukungan
keluarga, persepsi contoh terhadap ASD,
dan strategi koping. Data sekunder yaitu
mengenai keadaan umum Sekolah
Khusus Al-Ihsan meliputi profil sekolah,
jumlah terapi, identitas dan jumlah anak
ASD yang diperoleh dari Tata Usaha
Yayasan.
Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang diperoleh diolah
dengan menggunakan program komputer
Microsoft Excel dan SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) 10.0 for
Windows. Proses pengolahan mencakup
langkah-langkah editing, coding, scoring,
entry, cleaning, dan analisis data.
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 139
Pengkategorian variabel dukungan
keluarga dan persepsi didasarkan pada
median skor kelompok. Pengukuran
variabel strategi koping contoh berdasarkan
pada strategi koping untuk orang tua
atau CHIP dari McCubbin dan Thompson
(1987) yang telah disesuaikan. Penentuan
kategori kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh berdasarkan pada
persentase skor jawaban untuk masingmasing
pola koping. Persentase skor
terbesar dari ketiga pola koping akan
menentukan kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh dalam merawat
anak ASD.
Seluruh data primer yang terkumpul
kemudian dianalisis secara deskriptif. Uji
statistik yang digunakan adalah paired
sample T-test, korelasi Spearman dan
chi-square. Paired sample T-test untuk
mengetahui perbedaan antara strategi
koping contoh saat pertama mengetahui
anak menderita ASD dan saat ini. Uji
korelasi Spearman digunakan untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik
anak dan keluarga dengan pengetahuan
contoh, dukungan keluarga, dan persepsi
contoh terhadap anak ASD. Uji chi-square
digunakan untuk melihat hubungan
strategi koping contoh berdasarkan karakteristik
keluarga, dukungan keluarga,
pengetahuan, dan persepsi contoh
terhadap anak ASD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Anak
Dumas dan Nielsen (2003) menyatakan
bahwa peluang ASD pada anak lakilaki
lebih besar dibandingkan dengan
perempuan, yakni empat hingga lima kali
lebih besar dibandingkan anak perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 80,6% anak yang menderita ASD
adalah laki-laki dan sisanya 19,4% adalah
perempuan. Lebih dari separuh anak
(54,9%) yang menderita ASD berusia ≥96
bulan dan hanya 3,2% yang berusia 36-
47 bulan. Hampir separuh anak ASD
(45,2%) telah diterapi selama 41-88 bulan
dan 29% anak ASD telah diterapi selama
≥89 bulan.
Karakteristik Keluarga
Usia. Sebanyak 61,3% ibu contoh
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
38,0±5,73 tahun. Sebesar 45,2% suami
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
41,81±6,58 tahun.
Lama Pendidikan. Tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dalam kehidupan seharihari.
Lebih dari separuh ibu dan suami
(61,3%) menyelesaikan pendidikannya
selama ≥15 tahun atau setingkat dengan
tamat perguruan tinggi. Rata-rata lama
pendidikan ibu adalah 14,13±2,17 tahun,
sedangkan rata-rata lama pendidikan
suami adalah 14,61±2,25 tahun.
Jenis Pekerjaan. Jenis pekerjaan
dapat menggambarkan besarnya
pendapatan yang diperoleh anggota
keluarga. Sebagian besar ibu (74,2%)
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah
tangga dan 25,8% ibu bekerja di luar
rumah, sedangkan mayoritas suami
bekerja sebagai pegawai swasta (41,9%)
dan sisanya bekerja sebagai wiraswasta
(35,6%), PNS (16,1%), dan tentara
(3,2%) serta terdapat suami yang tidak
bekerja (3,2%) dikarenakan baru saja di
PHK.
Besar dan Tipe Keluarga. Menurut
Hurlock (1991) besar keluarga
dikelompokkan menjadi tiga yaitu
keluarga kecil (≤4 orang), keluarga
sedang (5-7 orang), dan keluarga besar
(≥8 orang). Sebesar 48,4% keluarga
contoh merupakan keluarga sedang,
41,9% keluarga kecil, dan 9,7% keluarga
besar. Selain itu, contoh yang memiliki
tipe keluarga inti sebanyak 61,3% dan
38,7% memiliki tipe keluarga luas, dimana
terdapat anggota keluarga lain yang juga
tinggal bersama dengan keluarga inti
(Hurlock 1991).
Pendapatan dan Alokasi Dana
untuk Terapi ASD. Sebagian besar
keluarga contoh merupakan keluarga
dengan status sosial ekonomi yang tinggi.
Sebanyak 35,5% ibu memiliki pendapatan
keluarga sebesar Rp 2.510.000,00 -
Rp 5.000.000,00 per bulan, dan 19,4%
pendapatan keluarga sebesar
Rp 5.100.000,00 - Rp 7.500.000,00 per
bulan, serta 16,1% memiliki pendapatan
lebih dari Rp 15 juta per bulan. Dana
yang dialokasikan khusus untuk anak
ASD lebih dari Rp 1,2 juta per bulan
(41,9%). Rata-rata dana yang dialokasikan
keluarga adalah sebesar
Rp 1.484.065,00±1.323.070,72. Dana ini
digunakan untuk membayar biaya terapis
atau dokter, obat/suplemen, dan biaya
pengasuhan anak ASD per bulan.
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah
dukungan yang diberikan oleh keluarga
baik keluarga inti maupun keluarga luas
terhadap ibu yang memiliki anak ASD.
Sebanyak 45,2% ibu mendapatkan
dukungan keluarga yang kurang kuat dan
41,9% ibu mendapatkan dukungan
keluarga yang kuat dan hanya 12,9% ibu
yang mendapatkan dukungan keluarga
sangat kuat baik dari keluarga inti
maupun keluarga luas.
Pengetahuan Ibu Mengenai ASD
Pengetahuan mengenai ASD ini
penting untuk memahami anak ASD
sehingga dapat melakukan perawatan
dengan tepat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari separuh ibu (51,6%)
memiliki pengetahuan yang baik
mengenai ASD dan 41,9% ibu berpengetahuan
sedang serta hanya 6,5% ibu
yang memiliki pengetahuan kurang
mengenai ASD. Sebagian besar ibu
mengetahui bahwa ASD bukanlah suatu
penyakit keturunan dan paling banyak
penyandang ASD adalah anak laki-laki.
Sebagian besar ibu memiliki pengetahuan
yang baik mengenai makanan yang perlu
dihindari oleh anak ASD. Oleh karena itu,
para ibu melakukan diet bebas gluten
(dari sumber makanan seperti gandum,
oat, barley, makanan bertepung) dan
casein (terdapat pada susu, mentega,
keju, yoghurt, laktosa, whey, dll.) pada
anak karena gluten dan casein dapat
mengakibatkan perkembangan anak
menjadi menurun.
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Persepsi merupakan suatu hasil dari
pengalaman seseorang terhadap objek,
peristiwa atau keadaan. Oleh karena itu,
setiap individu akan memiliki persepsi
yang berbeda dalam menghadapi
masalah anak ASD. Lebih dari separuh
ibu (54,8%) memiliki persepsi yang positif
terhadap anak ASD dan 45,2% ibu yang
memiliki persepsi negatif terhadap anak
ASD.
Strategi Koping Ibu
Strategi koping merupakan suatu
usaha atau upaya tingkah laku seseorang
untuk menguasai, mengurangi, dan
menoleransi tuntutan atau masalah yang
sedang dihadapi. Lebih dari separuh ibu
(54,8%) pada saat ini menggunakan
strategi koping mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama dan
optimis (pola I) dan tidak ada yang
menggunakan strategi koping dengan
memelihara dukungan sosial, kepercayaan
diri, dan stabilitas psikologis (pola II).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bristol (1984) dalam McCubbin dan
Thompson (1987) pun mengungkapkan
bahwa strategi koping yang dilakukan
oleh ibu yang memiliki anak ASD adalah
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis (pola I).
Sedangkan pada saat pertama kali ibu
mengetahui anak menderita ASD, lebih
dari separuh ibu (54,8%) menggunakan
strategi koping dengan memahami situasi
dan komunikasi antar orang tua ASD dan
dengan staf medis (pola III) (Tabel 1).
Perbedaan Strategi Koping
Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara strategi koping saat
pertama kali mengetahui anak ASD dan
saat ini (p-value=0,070, α=0,1) (Tabel 1).
Diketahui bahwa pada saat pertama,
strategi koping yang lebih banyak
digunakan oleh ibu adalah strategi koping
pola III. Dengan berkomunikasi
Tabel 1. Sebaran strategi koping ibu saat pertama mengetahui anak ASD dan saat ini
Strategi Koping Saat Pertama Saat Ini
n % n %
Pola I : Mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis 12 38,7 17 54,8
Pola II : Memelihara dukungan sosial, kepercayaan diri,
dan stabilitas psikologis 2 6,5 0 0,0
Pola III : Memahami situasi medis melalui komunikasi
antar orang tua ASD dan konsultasi dengan staf
medis
17 54,8 14 45,2
Total 31 100,0 31 100,0
p-value 0,070*
Keterangan : (*) = signifikan pada taraf alpha 0,1
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 141
dan berkonsultasi dengan orang yang
memahami mengenai ASD ternyata
dapat memperoleh informasi dan dapat
saling bertukar pengalaman sehingga
dapat memperluas wawasan ibu
mengenai ASD. Hal tersebut dapat lebih
mempermudah ibu untuk memahami
ASD sehingga dapat menerima keadaan
anak ASD dalam keluarga.
Akan tetapi, saat ini strategi koping
yang digunakan oleh ibu adalah strategi
koping pola I. Ibu merasakan bahwa
dukungan dari keluarga ternyata lebih
dapat membantu contoh meringankan
beban dalam merawat anak ASD.
Dukungan keluarga ternyata menjadikan
ibu menjadi lebih optimis, bersemangat
dan selalu bersyukur, serta lebih percaya
diri sehingga membantu ibu meringankan
beban yang dirasakan dalam merawat
anak ASD. Selain itu, kerjasama dari
semua anggota keluarga dalam merawat
anak ASD sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan dan
kemandirian anak ASD.
Faktor yang Berhubungan dengan
Dukungan Keluarga, Pengetahuan dan
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Hasil analisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga menunjukkan bahwa
usia ibu berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,413, p-value=0,021) begitu pula usia
suami berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,387, p-value=0,031). Semakin muda
usia ibu dan suami, dukungan keluarga
yang diperoleh semakin kuat. Namun,
tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara karakteristik keluarga dan anak
dengan pengetahuan ibu mengenai ASD.
Sementara itu, usia anak ASD
berhubungan negatif signifikan dengan
persepsi ibu terhadap anak ASD
(r-koefisien=-0,464, p-value=0,008).
Begitu pula lama terapi berhubungan
negatif signifikan dengan persepsi ibu
(r-koefisien=-0,389, p-value=0,03).
Semakin muda usia anak ASD dan
semakin singkat anak ASD di terapi,
persepsi ibu terhadap anak ASD
cenderung positif.
Faktor yang Berhubungan dengan
dengan Strategi Koping Ibu
Karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan serta persepsi
ibu terhadap anak ASD ternyata tidak
berhubungan signifikan dengan strategi
koping yang digunakan oleh ibu dalam
upaya meringankan tekanan yang
dihadapi dalam merawat anak ASD. Hal
ini diduga bahwa strategi koping yang
diterapkan oleh ibu berhubungan dengan
kepribadian ibu dan tingkat perkembangan
anak ASD, dimana variabel tersebut
tidak diteliti dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hampir separuh ibu (45,2%)
memperoleh dukungan keluarga yang
kurang kuat. Namun lebih dari separuh
ibu (51,6%) memiliki pengetahuan yang
baik mengenai ASD dan memiliki
persepsi positif terhadap anak ASD
(54,8%).
Strategi koping ibu yang banyak
digunakan pada saat pertama kali
mengetahui anak ASD adalah
memahami situasi medis melalui
komunikasi antar orang tua dan
konsultasi dengan staf medis (54,8%)
(pola III). Akan tetapi, strategi koping
yang digunakan oleh ibu pada saat ini
adalah strategi koping pola I yaitu
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan situasi optimis (54,8%)
dan tidak ada yang ibu yang
menggunakan strategi koping pola II
yaitu memelihara dukungan sosial,
kepercayaan diri, dan stabilitas
psikologis. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara strategi koping saat pertama
dengan strategi koping yang digunakan
ibu pada saat ini.
Dukungan keluarga relatif lebih
tinggi pada ayah dan ibu dengan umur
yang lebih muda (r=-0,413 pada ibu dan
r=-0,387 pada ayah). Sementara
pengetahuan ibu tentang ASD tidak
berhubungan dengan karakteristik
keluarga maupun anak. Persepsi ibu
tentang ASD semakin baik pada anak
yang lebih muda (r=-0,464) dan pada
anak yang baru mengikuti terapi
(r=-0,389). Karakteristik keluarga dan
anak, dukungan keluarga, pengetahuan
142 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
serta persepsi ibu tidak berhubungan
signifikan dengan strategi koping.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengambil contoh
secara acak dari populasi yang besar
dan berasal dari karakteristik keluarga
yang beragam. Untuk orang tua yang
mungkin belum bisa menerima anak ASD
atau memiliki persepsi negatif terhadap
anak ASD di dalam keluarga maka
diperlukan suatu strategi koping yang
dapat membantu ibu dalam menerima
anak ASD. Strategi koping tersebut
antara lain dengan berdoa dan bersyukur
kepada Tuhan YME, meningkatkan
kepercayaan diri dan mengontrol emosi
sehingga menciptakan rasa optimis
dalam merawat anak ASD, mendapatkan
dukungan dari semua anggota keluarga,
serta selalu mencari informasi dan
berkonsultasi dengan dokter, terapis dan
orang tua yang juga memiliki anak ASD.
Diperlukan pula kasih sayang yang tulus
dalam merawat dan melakukan terapi
dan pengobatan medis pada anak ASD.
DAFTAR PUSTAKA
Dumas JE, Nilsen WJ. 2003. Abnormal
Child and Adolescent Psychology.
Boston: Allyn and Bacon.
Kelana A, Elmy DL. 2007. Kromosom
Abnormal Penyebab Autisme
[terhubung berkala].
www.gatra.com/artikel.php?id=1028
73. [28 Agustus 2007].
McCubbin HI, Thompson AI, editor. 1987.
Family Assesment Inventories for
Research and Practice. Madison:
University of Winconsin.
Tobing LE. 2004. Stres, Coping, and
Psychological Distress of Mother of
Children with Pervasive
Development Disorders. Psychology
Journal. [15 Januari 2008].
* Korespondensi :
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Jl. Lingkar Kampus IPB Dramaga 16680
Telp : +62-251 8628303
Email : tutimartianto@yahoo.com
Kerjasama antara Sekolah (guru dan terapis) dengan Orangtua dalam Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus di Sekolah Laboratorium Universitas Negeri Malan
Andryas Dwi Hardiansyah
Abstrak
ABSTRAK
Hardiansyah, Andryas Dwi. 2009. Kerjasama antara Sekolah (guru dan terapis) dengan Orangtua dalam Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus di Sekolah Laboratorium Universitas Negeri Malang. Skripsi, Jurusan Administrsi PendidikanFakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang, Pembimbing: (I) Dra. Maisyaroh, M.Pd, (2) Dr.H. Ali Imron, M.Pd, M.Si
Kata kunci: Kerjasama, Sekolah Autis, Orangtua, Pembelajaran Anak.
Pada umumnya belum semua masyarakat seperti orang tua, para terapis, guru, bahkan pakar pendidikan pun memahami karakter anak autis. Oleh sebab itu, wajar apabila penanganannya juga masih belum tepat. Tidak sedikit orang tua dari anak autis yang tetap memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya ke SD umum, dengan alasan syarat umur anaknya sudah memenuhi masa sekolah. Keberadaan anak-anak autis di lingkungan masyarakat biasanya kurang dapat diterima dan cenderung dikucilkan, terlebih oleh teman sebayanya hal ini disebabkan kurangnya interaksi anak autis terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengatasinya orang tua yang memiliki anak yang menderita autis akan cenderung memilih sekolah khusus yang menangani anak-anak autis.
Oleh karena itu, Yayasan Sosial dan Pendidikan Autis Universitas Negeri Malang terdorong untuk menyelenggarakan pendidikan yang menampung anak-anak yang berkebutuhan khusus, dan memberi nama Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang. Namun tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, maka tidak mungkin keberhasilan tujuan pendidikan dan perkembangan anak akan berjalan efektif dan efisien.
Guna melihat kerjasamanya, penulis mengadakan penelitian di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini untuk mengungkap dan memaparkan: (1) kerjasama antara sekolah dengan orangtua, yang meliputi (a) peranan guru, (b) peranan terapis, (c) peranan orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua,
(3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: kerjasama antara sekolah (guru dan terapis) dengan orangtua dalam pembelajaran anak autis di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang telah berdampak pada pencapaian tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Untuk lebih jelasnya penulis merinci sebagai berikut: (1) kerjasama antara guru, terapis, orangtua dalam pembelajaran anak autis dipaparkan dalam beberapa bagian, (a) peranan guru terhadap pembelajaran anak mempengaruhi perkembangan perilaku anak autis dalam kehidupan sehari-hari, (b) peranan terapis dapat membantu anak autis untuk dapat mengembangakan potensi dan penerapan terapi berdasarkan dengan kebutuhan anak, (c) peranan orangtua sangat penting, dikarenakan pembelajaran anak banyak dilakukan di rumah sehingga pembelajaran di sekolah maupun program terapi tidak akan ada artinya apabila tanpa adanya campur tangan dari orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua diwujudkan dengan adanya partisipasi orangtua dalam setiap kegiatan yang diadakan sekolah, selain itu sekolah melakukan pertemuan rutin yang dijadikan sarana komunikasi dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua berasal dari banyak pihak yang peduli dengan keberlangsungan pendidikan anak berkebutuhan khusus, (3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua antara lain berupa waktu dan biaya, dikarenakan kesibukan orangtua sehingga komunikasi antara sekolah dengan orangtua akan terhambat sedangkan untuk masalah biaya pendidikan bagi anak autis tidak sedikit, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat antara lain menjadwalkan pertemuan rutin dengan orangtua siswa serta membuat buku penghubung, untuk mengatasi masalah biaya sekolah mengadakan subsidi silang.
Berdasarkan kesimpulan atau hasil temuan penelitian, berikut ini dikemukakan saran bagi pihak terkait yaitu: (1) pengurus yayasan dan pelaksana Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai kerjasama antara komponen di sekolah dengan pihak orang tua, (2) orang tua murid, dapat memberikan motivasi untuk lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang keadaan anak ketika di rumah, (3) jurusan administrasi pendidikan, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk lebih memperluas fungsi dari manajemen sekolah, (4) peneliti lain, dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah wawasan yang dijadikan sebagai referensi dan sebagai bahan pertimbangan penelitian yang sejenis
Andryas Dwi Hardiansyah
Abstrak
ABSTRAK
Hardiansyah, Andryas Dwi. 2009. Kerjasama antara Sekolah (guru dan terapis) dengan Orangtua dalam Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus di Sekolah Laboratorium Universitas Negeri Malang. Skripsi, Jurusan Administrsi PendidikanFakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang, Pembimbing: (I) Dra. Maisyaroh, M.Pd, (2) Dr.H. Ali Imron, M.Pd, M.Si
Kata kunci: Kerjasama, Sekolah Autis, Orangtua, Pembelajaran Anak.
Pada umumnya belum semua masyarakat seperti orang tua, para terapis, guru, bahkan pakar pendidikan pun memahami karakter anak autis. Oleh sebab itu, wajar apabila penanganannya juga masih belum tepat. Tidak sedikit orang tua dari anak autis yang tetap memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya ke SD umum, dengan alasan syarat umur anaknya sudah memenuhi masa sekolah. Keberadaan anak-anak autis di lingkungan masyarakat biasanya kurang dapat diterima dan cenderung dikucilkan, terlebih oleh teman sebayanya hal ini disebabkan kurangnya interaksi anak autis terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengatasinya orang tua yang memiliki anak yang menderita autis akan cenderung memilih sekolah khusus yang menangani anak-anak autis.
Oleh karena itu, Yayasan Sosial dan Pendidikan Autis Universitas Negeri Malang terdorong untuk menyelenggarakan pendidikan yang menampung anak-anak yang berkebutuhan khusus, dan memberi nama Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang. Namun tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, maka tidak mungkin keberhasilan tujuan pendidikan dan perkembangan anak akan berjalan efektif dan efisien.
Guna melihat kerjasamanya, penulis mengadakan penelitian di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini untuk mengungkap dan memaparkan: (1) kerjasama antara sekolah dengan orangtua, yang meliputi (a) peranan guru, (b) peranan terapis, (c) peranan orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua,
(3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat.
Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: kerjasama antara sekolah (guru dan terapis) dengan orangtua dalam pembelajaran anak autis di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang telah berdampak pada pencapaian tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Untuk lebih jelasnya penulis merinci sebagai berikut: (1) kerjasama antara guru, terapis, orangtua dalam pembelajaran anak autis dipaparkan dalam beberapa bagian, (a) peranan guru terhadap pembelajaran anak mempengaruhi perkembangan perilaku anak autis dalam kehidupan sehari-hari, (b) peranan terapis dapat membantu anak autis untuk dapat mengembangakan potensi dan penerapan terapi berdasarkan dengan kebutuhan anak, (c) peranan orangtua sangat penting, dikarenakan pembelajaran anak banyak dilakukan di rumah sehingga pembelajaran di sekolah maupun program terapi tidak akan ada artinya apabila tanpa adanya campur tangan dari orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua diwujudkan dengan adanya partisipasi orangtua dalam setiap kegiatan yang diadakan sekolah, selain itu sekolah melakukan pertemuan rutin yang dijadikan sarana komunikasi dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua berasal dari banyak pihak yang peduli dengan keberlangsungan pendidikan anak berkebutuhan khusus, (3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua antara lain berupa waktu dan biaya, dikarenakan kesibukan orangtua sehingga komunikasi antara sekolah dengan orangtua akan terhambat sedangkan untuk masalah biaya pendidikan bagi anak autis tidak sedikit, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat antara lain menjadwalkan pertemuan rutin dengan orangtua siswa serta membuat buku penghubung, untuk mengatasi masalah biaya sekolah mengadakan subsidi silang.
Berdasarkan kesimpulan atau hasil temuan penelitian, berikut ini dikemukakan saran bagi pihak terkait yaitu: (1) pengurus yayasan dan pelaksana Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai kerjasama antara komponen di sekolah dengan pihak orang tua, (2) orang tua murid, dapat memberikan motivasi untuk lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang keadaan anak ketika di rumah, (3) jurusan administrasi pendidikan, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk lebih memperluas fungsi dari manajemen sekolah, (4) peneliti lain, dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah wawasan yang dijadikan sebagai referensi dan sebagai bahan pertimbangan penelitian yang sejenis
Sabtu, 02 Oktober 2010
Sindrom Down
Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3,[1] yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.
Gejala atau tanda-tanda
Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.
Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
[sunting] Pemeriksaan diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
• Pemeriksaan fisik penderita
• Pemeriksaan kromosom
• Ultrasonografi (USG)
• Ekokardiogram (ECG)
• Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
[sunting] Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
Gejala atau tanda-tanda
Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.
Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
[sunting] Pemeriksaan diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
• Pemeriksaan fisik penderita
• Pemeriksaan kromosom
• Ultrasonografi (USG)
• Ekokardiogram (ECG)
• Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
[sunting] Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.
Kamis, 22 April 2010
ANAK HIPERAKTIF
Hiperaktif
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Faktor psikososial dan lingkungan
Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
Kenali kelebihan dan bakat anak
Membantu anak dalam bersosialisasi
Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya
Menerima keterbatasan anak
Membangkitkan rasa percaya diri anak
Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Gejala hiperaktif dapat dilihat dari perilaku anak yang tidak bisa diam. Duduk dengan tenang merupakan sesuatu yang sulit dilakukan. Ia akan bangkit dan berlari-lari, berjalan ke sana kemari, bahkan memanjat-manjat. Di samping itu, ia cenderung banyak bicara dan menimbulkan suara berisik.
Impulsif
Gejala impulsif ditandai dengan kesulitan anak untuk menunda respon. Ada semacam dorongan untuk mengatakan/melakukan sesuatu yang tidak terkendali. Dorongan tersebut mendesak untuk diekspresikan dengan segera dan tanpa pertimbangan. Contoh nyata dari gejala impulsif adalah perilaku tidak sabar. Anak tidak akan sabar untuk menunggu orang menyelesaikan pembicaraan. Anak akan menyela pembicaraan atau buru-buru menjawab sebelum pertanyaan selesai diajukan. Anak juga tidak bisa untuk menunggu giliran, seperti antri misalnya. Sisi lain dari impulsivitas adalah anak berpotensi tinggi untuk melakukan aktivitas yang membahayakan, baik bagi dirinya sendiri maupun orang lain.
Selain ketiga gejala di atas, untuk dapat diberikan diagnosis hiperaktif masih ada beberapa syarat lain. Gangguan di atas sudah menetap minimal 6 bulan, dan terjadi sebelum anak berusia 7 tahun. Gejala-gejala tersebut muncul setidaknya dalam 2 situasi, misalnya di rumah dan di sekolah.
Problem-problem yang biasa dialami oleh anak hiperaktif
Problem di sekolah
Anak tidak mampu mengikuti pelajaran yang disampaikan oleh guru dengan baik. Konsentrasi yang mudah terganggu membuat anak tidak dapat menyerap materi pelajaran secara keseluruhan. Rentang perhatian yang pendek membuat anak ingin cepat selesai bila mengerjakan tugas-tugas sekolah. Kecenderungan berbicara yang tinggi akan mengganggu anak dan teman yang diajak berbicara sehingga guru akan menyangka bahwa anak tidak memperhatikan pelajaran. Banyak dijumpai bahwa anak hiperaktif banyak mengalami kesulitan membaca, menulis, bahasa, dan matematika. Khusus untuk menulis, anak hiperaktif memiliki ketrampilan motorik halus yang secara umum tidak sebaik anak biasa
Problem di rumah
Dibandingkan dengan anak yang lain, anak hiperaktif biasanya lebih mudah cemas dan kecil hati. Selain itu, ia mudah mengalami gangguan psikosomatik (gangguan kesehatan yang disebabkan faktor psikologis) seperti sakit kepala dan sakit perut. Hal ini berkaitan dengan rendahnya toleransi terhadap frustasi, sehingga bila mengalami kekecewaan, ia gampang emosional. Selain itu anak hiperaktif cenderung keras kepala dan mudah marah bila keinginannya tidak segera dipenuhi. Hambatan-hambatan tersbut membuat anak menjadi kurang mampu menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Anak dipandang nakal dan tidak jarang mengalami penolakan baik dari keluarga maupun teman-temannya. Karena sering dibuat jengkel, orang tua sering memperlakukan anak secara kurang hangat. Orang tua kemudian banyak mengontrol anak, penuh pengawasan, banyak mengkritik, bahkan memberi hukuman. Reaksi anakpun menolak dan berontak. Akibatnya terjadi ketegangan antara orang tua dengan anak. Baik anak maupun orang tua menjadi stress, dan situasi rumahpun menjadi kurang nyaman. Akibatnya anak menjadi lebih mudah frustrasi. Kegagalan bersosialisasi di mana-mana menumbuhkan konsep diri yang negatif. Anak akan merasa bahwa dirinya buruk, selalu gagal, tidak mampu, dan ditolak.
Problem berbicara
Anak hiperaktif biasanya suka berbicara. Dia banyak berbicara, namun sesungguhnya kurang efisien dalam berkomunikasi. Gangguan pemusatan perhatian membuat dia sulit melakukan komunikasi yang timbal balik. Anak hiperaktif cenderung sibuk dengan diri sendiri dan kurang mampu merespon lawan bicara secara tepat.
Problem fisik
Secara umum anak hiperaktif memiliki tingkat kesehatan fisik yang tidak sebaik anak lain. Beberapa gangguan seperti asma, alergi, dan infeksi tenggorokan sering dijumpai. Pada saat tidur biasanya juga tidak setenang anak-anak lain. Banyak anak hiperaktif yang sulit tidur dan sering terbangun pada malam hari. Selain itu, tingginya tingkat aktivitas fisik anak juga beresiko tinggi untuk mengalami kecelakaan seperti terjatuh, terkilir, dan sebagainya.
Berikut ini adalah faktor-faktor penyebab hiperaktif pada anak :
Faktor neurologik
Insiden hiperaktif yang lebih tinggi didapatkan pada bayi yang lahir dengan masalah-masalah prenatal seperti lamanya proses persalinan, distres fetal, persalinan dengan cara ekstraksi forcep, toksimia gravidarum atau eklamsia dibandingkan dengan kehamilan dan persalinan normal. Di samping itu faktor-faktor seperti bayi yang lahir dengan berat badan rendah, ibu yang terlalu muda, ibu yang merokok dan minum alkohol juga meninggikan insiden hiperaktif
Terjadinya perkembangan otak yang lambat. Faktor etiologi dalam bidang neuoralogi yang sampai kini banyak dianut adalah terjadinya disfungsi pada salah satu neurotransmiter di otak yang bernama dopamin. Dopamin merupakan zat aktif yang berguna untuk memelihara proses konsentrasi
Beberapa studi menunjukkan terjadinya gangguan perfusi darah di daerah tertentu pada anak hiperaktif, yaitu di daerah striatum, daerah orbital-prefrontal, daerah orbital-limbik otak, khususnya sisi sebelah kanan
Faktor toksik
Beberapa zat makanan seperti salisilat dan bahan-bahan pengawet memilikipotensi untuk membentuk perilaku hiperaktif pada anak. Di samping itu, kadar timah (lead) dalam serum darah anak yang meningkat, ibu yang merokok dan mengkonsumsi alkohol, terkena sinar X pada saat hamil juga dapat melahirkan calon anak hiperaktif.
Faktor genetik
Didapatkan korelasi yang tinggi dari hiperaktif yang terjadi pada keluarga dengan anak hiperaktif. Kurang lebih sekitar 25-35% dari orang tua dan saudara yang masa kecilnya hiperaktif akan menurun pada anak. Hal ini juga terlihat pada anak kembar.
Faktor psikososial dan lingkungan
Pada anak hiperaktif sering ditemukan hubungan yang dianggap keliru antara orang tua dengan anaknya.
Berikut ini adalah beberapa cara yang bisa dilakukan oleh orang tua untuk mendidik dan membimbing anak-anak mereka yang tergolong hiperaktif :
Orang tua perlu menambah pengetahuan tentang gangguan hiperaktifitas
Kenali kelebihan dan bakat anak
Membantu anak dalam bersosialisasi
Menggunakan teknik-teknik pengelolaan perilaku, seperti menggunakan penguat positif (misalnya memberikan pujian bila anak makan dengan tertib), memberikan disiplin yang konsisten, dan selalu memonitor perilaku anak
Memberikan ruang gerak yang cukup bagi aktivitas anak untuk menyalurkan kelebihan energinya
Menerima keterbatasan anak
Membangkitkan rasa percaya diri anak
Dan bekerja sama dengan guru di sekolah agar guru memahami kondisi anak yang sebenarnya
Disamping itu anak bisa juga melakukan pengelolaan perilakunya sendiri dengan bimbingan orang tua. Contohnya dengan memberikan contoh yang baik kepada anak, dan bila suatu saat anak melanggarnya, orang tua mengingatkan anak tentang contoh yang pernah diberikan orang tua sebelumnya.
Kapan Pendidikan Seks Dimulai?
Kapan pendidikan seks bisa mulai diberikan kepada anak? Beberapa orang tua sering menjawab pertanyaan seks dengan jawaban singkat: "Tunggu kamu besar!". Sebenarnya waktu terbaik memberikan pendidikan seks adalah sejak dini! Pendidikan seks dimulai bahkan sejak anak masih balita.
Jika Anda menunda memberikan pendidikan seks pada saat anak Anda mulai memasuki usia remaja, maka itu sudah terlambat. Karena di zaman di mana informasi mudah didapat dari Internet dan teman sebaya, maka saat anak usia remaja mereka telah mengetahui lebih banyak tentang seks dan kemungkinan besar dari sudut pandang yang salah.
Jika Anda menunda memberikan pendidikan seks pada saat anak Anda mulai memasuki usia remaja, maka itu sudah terlambat. Karena di zaman di mana informasi mudah didapat dari Internet dan teman sebaya, maka saat anak usia remaja mereka telah mengetahui lebih banyak tentang seks dan kemungkinan besar dari sudut pandang yang salah.
Dampak pelecehan seksual
Pelecehan seksual ringan mungkin dampaknya tidak terlalu mengkhawatirkan, namun pelecehan seksual yang sudah derajatnya sedang dan berat akan menimbulkan dampak negatif secara fisik, psikologis, dan juga sosial. Dampak fisik yang biasa ditimbulkan akibat pelecehan seksual, adanya memar, luka, bahkan robek pada bagian-bagian tertentu. Sedangkan dampak psikologis berupa kecurigaan kepada seseorang, sosok tertentu, figur tertentu.
“Parasaan ketakutan merupakan dampak yang sering dialami korban. Ketakutan ini muncul dalam bentuk takut kepada orang tertentu, bentuk tubuh tertentu, dan tempat tertentu. Selain itu, kecurigaan juga sering muncul sebagai dampak dari korban pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual menjadi ‘paranoid’ kepada orang tertentu, orang asing yang tidak dikenalnya, serta tempat asing yang belum pernah dikunjunginya, “ ucap psikolog itu kepada Kontras.
Katanya lagi, dampak sosial yang dialami korban mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya. Sementara dampak yang serius dari pelecehan seksualm, ujar Dra Hamidah MSi, adalah trauma.
“Korban pelecehan seksual mengalami trauma secara psikologis karena pernah mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan, menyedihkan, dan berat menurutnya. Sehingga yang bersangkutan (korban) sulit melupakan peristiwa tersebut dan dapat mengganggu ketenangan, konsentrasi, dan stabilitas mentalnya. Sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari,” katanya.
Dampak lain yang sangat serius adalah diasingkan atau dikucilkan masyarakat. Agar dampak ini tidak menimbulkan kerugian yang berat bagi korban, keluarga korban atau mungkin institusi di mana korban belajar atau bekerja. Jadi, penanganan yang diperlukan adalah merahasiakan hal yang dialami korban dari umum. Baik secara fisik, psikologis, dan spiritual.
“Parasaan ketakutan merupakan dampak yang sering dialami korban. Ketakutan ini muncul dalam bentuk takut kepada orang tertentu, bentuk tubuh tertentu, dan tempat tertentu. Selain itu, kecurigaan juga sering muncul sebagai dampak dari korban pelecehan seksual. Korban pelecehan seksual menjadi ‘paranoid’ kepada orang tertentu, orang asing yang tidak dikenalnya, serta tempat asing yang belum pernah dikunjunginya, “ ucap psikolog itu kepada Kontras.
Katanya lagi, dampak sosial yang dialami korban mengakibatkan korban ingin mengasingkan diri dari pergaulan. Perasaan ini timbul akibat adanya harga diri yang rendah karena ia menjadi korban pelecehan seksual, sehingga merasa tidak berharga, tidak pantas dan juga merasa tidak layak untuk bergaul bersama teman-temannya. Sementara dampak yang serius dari pelecehan seksualm, ujar Dra Hamidah MSi, adalah trauma.
“Korban pelecehan seksual mengalami trauma secara psikologis karena pernah mengalami peristiwa yang sangat menyakitkan, menyedihkan, dan berat menurutnya. Sehingga yang bersangkutan (korban) sulit melupakan peristiwa tersebut dan dapat mengganggu ketenangan, konsentrasi, dan stabilitas mentalnya. Sehingga dapat mengganggu aktivitas sehari-hari,” katanya.
Dampak lain yang sangat serius adalah diasingkan atau dikucilkan masyarakat. Agar dampak ini tidak menimbulkan kerugian yang berat bagi korban, keluarga korban atau mungkin institusi di mana korban belajar atau bekerja. Jadi, penanganan yang diperlukan adalah merahasiakan hal yang dialami korban dari umum. Baik secara fisik, psikologis, dan spiritual.
Pelecehan Seksual Terhadap Anak
Ada
beberapa hal yang perlu diberitahukan kepada anak agar terhindar dari kekerasan
seksual, sejak anak berusia 2-4 tahun :
Pertama, anak harus dibritahukan
agar jangan berbicara atau menerima pemberian dari orang asing. Anak juga harus
selalu meminta izin orang tua jika akan pergi. “ Katakan pada anak bahwa mereka
harus segera melaporkan kepada bapak atau ibunya apabila ada orang yang
menyentuh alat kelamin atau tubuh mereka dengan cara yang tidak mereka sukai.
Katakan juga agar anak berteriak atau kabur jika merasa terancam oleh orang
yang tak dikenal. Agar anak dapat memahami bahwa orang lain dapat melakukan
hal-hal yang tidak menyenangkan kepada dirinya berkaitan dengan perbuatan
seksual dan upaya anak dapat memahami hal tersebut, pengenalan bagian tubuh
kepada anak mutlak dilakukan.
Orang tua juga perlu mengajarkan
anak mengenal perbedaan bagian tubuh anak laki-laki dan perempuan. Kemudian
ajarkan kepada anak mengenai nilai, batasan, dan aturan yang di anut oleh
keluarga yang seharusnya dihormati.
beberapa hal yang perlu diberitahukan kepada anak agar terhindar dari kekerasan
seksual, sejak anak berusia 2-4 tahun :
Pertama, anak harus dibritahukan
agar jangan berbicara atau menerima pemberian dari orang asing. Anak juga harus
selalu meminta izin orang tua jika akan pergi. “ Katakan pada anak bahwa mereka
harus segera melaporkan kepada bapak atau ibunya apabila ada orang yang
menyentuh alat kelamin atau tubuh mereka dengan cara yang tidak mereka sukai.
Katakan juga agar anak berteriak atau kabur jika merasa terancam oleh orang
yang tak dikenal. Agar anak dapat memahami bahwa orang lain dapat melakukan
hal-hal yang tidak menyenangkan kepada dirinya berkaitan dengan perbuatan
seksual dan upaya anak dapat memahami hal tersebut, pengenalan bagian tubuh
kepada anak mutlak dilakukan.
Orang tua juga perlu mengajarkan
anak mengenal perbedaan bagian tubuh anak laki-laki dan perempuan. Kemudian
ajarkan kepada anak mengenai nilai, batasan, dan aturan yang di anut oleh
keluarga yang seharusnya dihormati.
Sabtu, 17 April 2010
Gangguan psikologis pada anak
Gangguan psikologis pada anak agak susah dikenali. Berikut antara lain ciri-ciri yang dapat menjadi pedoman para orang tua dalam melakukan diagnosis terhadap anak yang mengalami gangguan psikologis, menurut Psikolog Klinis Adriana S Ginanjar.
Anak yang mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), ciri-cirinya antara lain tidak bisa memusatkan perhatian, impulsif, dan hiperaktif. Anak-anak semacam ini akan mudah bosan dan cenderung agresif. Bahkan bisa memiliki reaksi berlebihan terhadap frustasi.
Sedangkan pada anak-anak Autistik beberapa cirinya adalah gangguan yang jelas pada perlaku non verbal seperti tidak bisa berbagi minat dengan orang lain dan suka menyendiri, terlambat untuk bisa berbicara, dan terikat pada ritual yang tidak fungsional.
Sementara anak yang mengalami Sindrom Asperger, pada umumnya tidak jauh berbeda dengan penderita autistik. Hanya saja pada anak autistik tidak mengalami keterlambatan bicara, tetapi cenderung menggunakan bahasa formal. Selain itu anak dengan Sindrom Asperger juga memiliki prestasi akademik dan kemampuan yang baik pada bidang tertentu.
Pada anak yang mengalami Retardasi Mental, ciri utamanya adalah memiliki skor yang rendah pada tes intelegensi formal. Anak tersebut juga memiliki hambatan dalam menyelesaikan tugas sehari-harinya.
Lebih lanjut menurut Adriana, dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus tersebut peranan orang tua harus mendapat porsi yang lebih besar. “Bagaimanapun juga kasih sayang orang tua masih menjadi salah satu kunci terpenting dalam penanganan semua macam anak dengan gangguan psikologis,” pungkasnya..
Anak yang mengalami ADHD (attention deficit hyperactivity disorder), ciri-cirinya antara lain tidak bisa memusatkan perhatian, impulsif, dan hiperaktif. Anak-anak semacam ini akan mudah bosan dan cenderung agresif. Bahkan bisa memiliki reaksi berlebihan terhadap frustasi.
Sedangkan pada anak-anak Autistik beberapa cirinya adalah gangguan yang jelas pada perlaku non verbal seperti tidak bisa berbagi minat dengan orang lain dan suka menyendiri, terlambat untuk bisa berbicara, dan terikat pada ritual yang tidak fungsional.
Sementara anak yang mengalami Sindrom Asperger, pada umumnya tidak jauh berbeda dengan penderita autistik. Hanya saja pada anak autistik tidak mengalami keterlambatan bicara, tetapi cenderung menggunakan bahasa formal. Selain itu anak dengan Sindrom Asperger juga memiliki prestasi akademik dan kemampuan yang baik pada bidang tertentu.
Pada anak yang mengalami Retardasi Mental, ciri utamanya adalah memiliki skor yang rendah pada tes intelegensi formal. Anak tersebut juga memiliki hambatan dalam menyelesaikan tugas sehari-harinya.
Lebih lanjut menurut Adriana, dalam menangani anak-anak berkebutuhan khusus tersebut peranan orang tua harus mendapat porsi yang lebih besar. “Bagaimanapun juga kasih sayang orang tua masih menjadi salah satu kunci terpenting dalam penanganan semua macam anak dengan gangguan psikologis,” pungkasnya..
Minggu, 11 April 2010
Memahami Gangguan Belajar pada Anak Sekolah Dasar
Proses belajar anak usia Sekolah Dasar merupakan kondisi yang sangat penting sebagai landasan pendidikan anak. Namun demikian, kondisi belajar tersebut terkadang mengalami gangguan yang tentu saja dapat mempengaruhi proses belajar anak. Gangguan belajar terutama pada anak Sekolah Dasar merupakan suatu gejala, yang bisa menjadi bagian dari suatu gangguan tertentu, namun dapat pula sebagai kondisi tersendiri.
Gangguan belajar bisa merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa, seperti retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan autisme atau gangguan cemas pada anak. Sedangkan gangguan belajar yang berdiri sendiri, bisa dalam bentuk gangguan membaca (disleksia), gangguan menulis (disgrafia) atau gangguan berhitung (diskalkulia).
Gangguan Membaca (Disleksia)
Gangguan membaca merupakan suatu diagnosis yang ditandai oleh adanya kesulitan berat dalam kemampuan membaca (mengerti bahan bacaan). Kesulitan ini tidak sesuai dengan yang dialami anak lain seusianya dan tidak sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Gangguan membaca ini juga tidak berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan fisik, motivasi yang kurang, pendidikan yang kurang adekuat, masalah sosial ekonomi dan gangguan pada sistem sensorik (penglihatan dan pendengaran).
Gangguan berhitung (diskalkulia)
Gangguan berhitung atau gangguan matematik merupakan kesulitan dalam kemampuan aritmatik; termasuk berhitung dan menyelesaikan soal-soal aritmatik. Kesulitan ini tidak sesuai dengan kemampuan anak seusianya, tingkat kecerdasan dan pendidikan yang dijalaninya. Selain itu, kesulitan ini juga tidak disertai dengan adanya gangguan penglihatan, pendengaran, fisik atau emosi. Juga tidak berhubungan dengan lingkungan, kultur atau ketidakmampuan ekonomi.
Gangguan Menulis (Disgrafia)
Gangguan menulis merupakan gangguan pada kemampuan menulis anak yaitu kemampuan di bawah rata-rata anak seusianya. Gangguan ini tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang telah dijalaninya. Hal tersebut menimbulkan masalah pada akademik anak dan berbagai area kehidupan anak. Menulis merupakan proses penyelesaian masalah (problem solving); yang melibatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan bahasa yang dapat dimengerti serta merefleksikan kemampuan dan opini penulis tentang suatu topik.
Deteksi Dini Gangguan Belajar pada Anak
Gangguan belajar pada anak penting untuk dideteksi sejak dini. Hal ini karena gangguan belajar dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku anak. Perilaku anak dengan gangguan belajar dapat diamati saat di kelas. Anak biasanya tidak dapat duduk tenang di tempatnya, lambat menyelesaikan tugas atau bahkan tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Hal ini sebetulnya merupakan bentuk penghindaran dari mengerjakan tugas yang dirasanya sulit.
Perkembangan anak sejak kecil juga bisa merupakan pertanda kemungkinan terjadinya gangguan belajar pada usia sekolah dasar. Anak dengan keterlambatan bicara (belum bisa mengucapkan kalimat sederhana di usia 2 tahun), bisa merupakan faktor prediksi terjadinya gangguan belajar. Gangguan koordinasi motorik, terutama pada usia menjelang taman kanak-kanak, juga bisa menjadi faktor prediksi terjadinya gangguan belajar.
Jika orang tua atau guru melihat tanda-tanda adanya gangguan belajar pada anak, perlu segera dikonsultasikan kepada dokter. Pertama kali dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Karena seringkali gangguan pada penglihatan dan pendengaran juga dapat mengganggu kemampuan belajar anak. Pemeriksaan psikologis seperti tingkat kecerdasan (tes IQ), juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya tingkat kecerdasan yang kurang, seperti pada retardasi mental. Selain itu, diperiksa juga kemungkinan adanya gangguan jiwa lain seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan perilaku, atau gangguan kecemasan.
Cara Membantu Anak Mengatasi Gangguan Belajar, Tips Bagi Orang Tua
Anak yang mengalami gangguan belajar sering kali akan menunjukkan gangguan perilaku. Hal ini bisa berdampak pada hubungan pasien dengan orang-orang di sekitarnya (keluarga, guru dan teman-teman sebaya). Untuk itu anak perlu didampingi untuk menghadapi situasi ini.
Orang tua merupakan guru yang pertama dan terdekat dengan anak. Dengan demikian, peran orang tua sangat penting untuk mengenali permasalahan apa yang dialami anak. Selain itu, penting juga untuk menemukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini akan membantu orang tua mendukung anak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.
Tugas anak adalah bermain, maka proses belajar pun sebaiknya menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Apalagi pada anak dengan gangguan belajar, penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Kenali hal apa yang membuat anak merasa senang. Misalnya, jika anak tersebut menyukai lagu tertentu, ajak anak itu belajar sambil memutarkan lagu tersebut. Ijinkan anak membawa mainan kesayangannya saat belajar. Jika anak senang dengan suatu obyek tertentu, misalnya kereta api, sertakan bentuk kereta api dalam pelajaran. Sebagai contoh, anak dengan gangguan berhitung, saat belajar berhitung dapat digunakan gambar kereta api yang dia senangi.
Anak dengan gangguan belajar juga bisa mengalami perasaan rendah diri karena ketidakmampuannya atau karena sering diejek oleh teman-temannya. Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan pujian jika ia berhasil melakukan suatu pencapaian. Misalnya, bila suatu kali anak berhasil mendapat nilai yang cukup baik atau mengerjakan tugas dengan benar, maka orang tua hendaknya memberi pujian pada anak. Hal ini akan memotivasi anak untuk berbuat lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri dan membantu anak merasa nyaman dengan dirinya.
Keterlibatan pihak sekolah juga perlu diperhatikan karena sebagian besar waktu belajar anak ada di sekolah. Diskusikan dengan guru kelas mengenai kesulitan dan kemampuan anak dalam belajar. Posisi tempat duduk anak di kelas juga bisa membantu anak untuk lebih berkonsentrasi dalam belajar. Akan lebih baik jika anak duduk di depan kelas sehingga perhatiannya tidak teralih ke anak-anak lain atau ke jendela kelas.
Masalah gangguan belajar penting sekali dipahami oleh orang tua dan guru sehingga dapat mendukung dan membantu anak dalam belajar. Jika ditangani dengan tidak benar maka hanya akan menambah permasalahan pada anak. Deteksi dan konsultasi dini pada anak yang diduga mengalami gangguan belajar menjadi faktor penting sehingga anak dapat segera ditangani dengan tepat. Kerja sama antara orang tua, guru dan profesional kesehatan jiwa (psikiater dan psikolog) diperlukan untuk membantu anak menghadapi permasalahan gangguan belajar tersebut.
Gangguan belajar bisa merupakan salah satu gejala dari gangguan jiwa, seperti retardasi mental, gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktif, gangguan autisme atau gangguan cemas pada anak. Sedangkan gangguan belajar yang berdiri sendiri, bisa dalam bentuk gangguan membaca (disleksia), gangguan menulis (disgrafia) atau gangguan berhitung (diskalkulia).
Gangguan Membaca (Disleksia)
Gangguan membaca merupakan suatu diagnosis yang ditandai oleh adanya kesulitan berat dalam kemampuan membaca (mengerti bahan bacaan). Kesulitan ini tidak sesuai dengan yang dialami anak lain seusianya dan tidak sesuai dengan kemampuan kognitifnya. Gangguan membaca ini juga tidak berhubungan dengan adanya gangguan perkembangan fisik, motivasi yang kurang, pendidikan yang kurang adekuat, masalah sosial ekonomi dan gangguan pada sistem sensorik (penglihatan dan pendengaran).
Gangguan berhitung (diskalkulia)
Gangguan berhitung atau gangguan matematik merupakan kesulitan dalam kemampuan aritmatik; termasuk berhitung dan menyelesaikan soal-soal aritmatik. Kesulitan ini tidak sesuai dengan kemampuan anak seusianya, tingkat kecerdasan dan pendidikan yang dijalaninya. Selain itu, kesulitan ini juga tidak disertai dengan adanya gangguan penglihatan, pendengaran, fisik atau emosi. Juga tidak berhubungan dengan lingkungan, kultur atau ketidakmampuan ekonomi.
Gangguan Menulis (Disgrafia)
Gangguan menulis merupakan gangguan pada kemampuan menulis anak yaitu kemampuan di bawah rata-rata anak seusianya. Gangguan ini tidak sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pendidikan yang telah dijalaninya. Hal tersebut menimbulkan masalah pada akademik anak dan berbagai area kehidupan anak. Menulis merupakan proses penyelesaian masalah (problem solving); yang melibatkan kemampuan penulis dalam menghasilkan bahasa yang dapat dimengerti serta merefleksikan kemampuan dan opini penulis tentang suatu topik.
Deteksi Dini Gangguan Belajar pada Anak
Gangguan belajar pada anak penting untuk dideteksi sejak dini. Hal ini karena gangguan belajar dapat mempengaruhi perasaan dan perilaku anak. Perilaku anak dengan gangguan belajar dapat diamati saat di kelas. Anak biasanya tidak dapat duduk tenang di tempatnya, lambat menyelesaikan tugas atau bahkan tidak mau mengerjakan tugas yang diberikan. Hal ini sebetulnya merupakan bentuk penghindaran dari mengerjakan tugas yang dirasanya sulit.
Perkembangan anak sejak kecil juga bisa merupakan pertanda kemungkinan terjadinya gangguan belajar pada usia sekolah dasar. Anak dengan keterlambatan bicara (belum bisa mengucapkan kalimat sederhana di usia 2 tahun), bisa merupakan faktor prediksi terjadinya gangguan belajar. Gangguan koordinasi motorik, terutama pada usia menjelang taman kanak-kanak, juga bisa menjadi faktor prediksi terjadinya gangguan belajar.
Jika orang tua atau guru melihat tanda-tanda adanya gangguan belajar pada anak, perlu segera dikonsultasikan kepada dokter. Pertama kali dilakukan pemeriksaan ada atau tidaknya gangguan pada penglihatan dan pendengaran. Karena seringkali gangguan pada penglihatan dan pendengaran juga dapat mengganggu kemampuan belajar anak. Pemeriksaan psikologis seperti tingkat kecerdasan (tes IQ), juga perlu dilakukan untuk menyingkirkan kemungkinan adanya tingkat kecerdasan yang kurang, seperti pada retardasi mental. Selain itu, diperiksa juga kemungkinan adanya gangguan jiwa lain seperti autisme, gangguan pemusatan perhatian dan perilaku, atau gangguan kecemasan.
Cara Membantu Anak Mengatasi Gangguan Belajar, Tips Bagi Orang Tua
Anak yang mengalami gangguan belajar sering kali akan menunjukkan gangguan perilaku. Hal ini bisa berdampak pada hubungan pasien dengan orang-orang di sekitarnya (keluarga, guru dan teman-teman sebaya). Untuk itu anak perlu didampingi untuk menghadapi situasi ini.
Orang tua merupakan guru yang pertama dan terdekat dengan anak. Dengan demikian, peran orang tua sangat penting untuk mengenali permasalahan apa yang dialami anak. Selain itu, penting juga untuk menemukan kekuatan atau kemampuan yang dimiliki anak. Hal ini akan membantu orang tua mendukung anak mengembangkan kemampuan yang dimilikinya sehingga dapat meningkatkan kepercayaan diri anak.
Tugas anak adalah bermain, maka proses belajar pun sebaiknya menjadi proses yang menyenangkan untuk anak. Apalagi pada anak dengan gangguan belajar, penting untuk menciptakan suasana belajar yang menyenangkan dan tidak membebani anak. Kenali hal apa yang membuat anak merasa senang. Misalnya, jika anak tersebut menyukai lagu tertentu, ajak anak itu belajar sambil memutarkan lagu tersebut. Ijinkan anak membawa mainan kesayangannya saat belajar. Jika anak senang dengan suatu obyek tertentu, misalnya kereta api, sertakan bentuk kereta api dalam pelajaran. Sebagai contoh, anak dengan gangguan berhitung, saat belajar berhitung dapat digunakan gambar kereta api yang dia senangi.
Anak dengan gangguan belajar juga bisa mengalami perasaan rendah diri karena ketidakmampuannya atau karena sering diejek oleh teman-temannya. Untuk itu, penting bagi orang tua memberikan pujian jika ia berhasil melakukan suatu pencapaian. Misalnya, bila suatu kali anak berhasil mendapat nilai yang cukup baik atau mengerjakan tugas dengan benar, maka orang tua hendaknya memberi pujian pada anak. Hal ini akan memotivasi anak untuk berbuat lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri dan membantu anak merasa nyaman dengan dirinya.
Keterlibatan pihak sekolah juga perlu diperhatikan karena sebagian besar waktu belajar anak ada di sekolah. Diskusikan dengan guru kelas mengenai kesulitan dan kemampuan anak dalam belajar. Posisi tempat duduk anak di kelas juga bisa membantu anak untuk lebih berkonsentrasi dalam belajar. Akan lebih baik jika anak duduk di depan kelas sehingga perhatiannya tidak teralih ke anak-anak lain atau ke jendela kelas.
Masalah gangguan belajar penting sekali dipahami oleh orang tua dan guru sehingga dapat mendukung dan membantu anak dalam belajar. Jika ditangani dengan tidak benar maka hanya akan menambah permasalahan pada anak. Deteksi dan konsultasi dini pada anak yang diduga mengalami gangguan belajar menjadi faktor penting sehingga anak dapat segera ditangani dengan tepat. Kerja sama antara orang tua, guru dan profesional kesehatan jiwa (psikiater dan psikolog) diperlukan untuk membantu anak menghadapi permasalahan gangguan belajar tersebut.
GANGGUAN BELAJAR
Disleksia (gangguan membaca) DEFINISI
Disleksia adalah gangguan membaca tertentu meliputi kesulitan memisahkan kata-kata tunggal dari kelompok kata dan bagian dari kata (phonemes) dalam setiap kata.
Disleksia adalah jenis tertentu dari gangguan belajar yang mempengaruhi diperkirakan 3 sampai 5 % anak-anak. Teridentifikasi lebih pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan : bagaimanapun, bisa dengan mudah tidak dikenali lebih sering pada anak perempuan. Disleksia cenderung menurun dalam keluarga.
PENYEBAB
Disleksia terjadi ketika otak kesulitan membuat hubungan antara suara dan symbol (hurup). Kesulitan ini disebabkan oleh masalah kurang mengerti dengan hubungan otak tertentu. Masalah itu ada sejak lahir dan bisa menyebabkan mengeja dan menulis salah dan mengurangi kecepatan dan ketepatan ketika membaca dengan suara keras. Orang dengan diseleksia tidak memiliki masalah memahami bahasa yang dibicarakan.
GEJALA
Anak belum sekolah dengan disleksia bisa jadi terlambat bicara, memiliki masalah artikulasi berbicara, dan mempunyai kesulitan mengingat nama-nama huruf, angka, dan warna. Anak disleksia sering kesulitan memadukan suara, irama kata, mengenali letak suara pada kata, segmenting kata-kata ke dalam bunyi, dan mengenali bunyi huruf pada kata. Keterlambatan atau keragu-raguan dalam memilih kata-kata. Membuat kata pengganti, menamai angka dan gambar adalah indikasi awal disleksia. Masalah dengan daya ingat jangka pendek untuk suara dan untuk meletakkan suara pada perintah yang tepat sering terjadi.
Banyak anak dengan disleksia bingung dengan hurup dan kata yang serupa. membalikkan huruf ketika menulis-sebagai contoh, on diganti menjadi no, dan saw diganti menjadi was-atau huruf yang membingungkan-sebagai contoh, b diganti menjadi d, w diganti menjadi m, n diganti menjadi h-sering terjadi. Meskipun begitu, banyak anak tanpa disleksia akan membalikkan hurup pada waktu taman kanak-kanak atau tingkat pertama.
Anak yang tidak mengalami kemajuan dalam keahlian mempelajari kata-kata pada kelas pertengahan atau akhir sekolah dasar harus di uji untuk disleksia.
Disleksia adalah gangguan membaca tertentu meliputi kesulitan memisahkan kata-kata tunggal dari kelompok kata dan bagian dari kata (phonemes) dalam setiap kata.
Disleksia adalah jenis tertentu dari gangguan belajar yang mempengaruhi diperkirakan 3 sampai 5 % anak-anak. Teridentifikasi lebih pada anak laki-laki dibandingkan dengan anak perempuan : bagaimanapun, bisa dengan mudah tidak dikenali lebih sering pada anak perempuan. Disleksia cenderung menurun dalam keluarga.
PENYEBAB
Disleksia terjadi ketika otak kesulitan membuat hubungan antara suara dan symbol (hurup). Kesulitan ini disebabkan oleh masalah kurang mengerti dengan hubungan otak tertentu. Masalah itu ada sejak lahir dan bisa menyebabkan mengeja dan menulis salah dan mengurangi kecepatan dan ketepatan ketika membaca dengan suara keras. Orang dengan diseleksia tidak memiliki masalah memahami bahasa yang dibicarakan.
GEJALA
Anak belum sekolah dengan disleksia bisa jadi terlambat bicara, memiliki masalah artikulasi berbicara, dan mempunyai kesulitan mengingat nama-nama huruf, angka, dan warna. Anak disleksia sering kesulitan memadukan suara, irama kata, mengenali letak suara pada kata, segmenting kata-kata ke dalam bunyi, dan mengenali bunyi huruf pada kata. Keterlambatan atau keragu-raguan dalam memilih kata-kata. Membuat kata pengganti, menamai angka dan gambar adalah indikasi awal disleksia. Masalah dengan daya ingat jangka pendek untuk suara dan untuk meletakkan suara pada perintah yang tepat sering terjadi.
Banyak anak dengan disleksia bingung dengan hurup dan kata yang serupa. membalikkan huruf ketika menulis-sebagai contoh, on diganti menjadi no, dan saw diganti menjadi was-atau huruf yang membingungkan-sebagai contoh, b diganti menjadi d, w diganti menjadi m, n diganti menjadi h-sering terjadi. Meskipun begitu, banyak anak tanpa disleksia akan membalikkan hurup pada waktu taman kanak-kanak atau tingkat pertama.
Anak yang tidak mengalami kemajuan dalam keahlian mempelajari kata-kata pada kelas pertengahan atau akhir sekolah dasar harus di uji untuk disleksia.
Selasa, 06 April 2010
MENGENAL GANGGUAN BELAJAR DISKALKULIA & DISGRAFIA
Banyak orang tua langsung menduga anaknya bodoh atau malas ketika melihatnya mengalami kesulitan membaca, berhitung atau mengikuti pelajaran di sekolah. Padahal, bisa jadi si anak mengalami gangguan persarafan.
Beberapa nomor lalu telah dibahas gangguan belajar yang menyangkut kemampuan membaca atau disleksia. Disamping gangguan tersebut, sebetulnya kita perlu mengenal gangguan belajar lainnya yang menyangkut kemampuan berhitung (diskalkulia) dan menulis (disgrafia).
DISKALKULIA
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah "math difficulty" karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
CIRI-CIRI
Inilah beberapa hal yang bisa dijadikan pegangan:
1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.
2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang.
3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang.
6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.
7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit memahami notasi, urutan nada, dan sebagainya.
8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.
FAKTOR PENYEBAB
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:
1. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.
2. Bermasalah dalam hal mengurut informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail.
3. Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.
CARA PENANGGULANGAN
Diagnosa diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh.
Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar, yaitu:
1. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk menjembatani langkah-langkah
atau urutan dari proses keseluruhannya.
2. Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep secara verbal.
3. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
4. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.
5. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.
6. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak.
7. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak mudah memahaminya.
8. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar di kelas, memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
DISGRAFIA
Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya.
CIRI-CIRI
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
MEMBANTU ANAK DISGRAFIA
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:
1. Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua
meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.
Beberapa nomor lalu telah dibahas gangguan belajar yang menyangkut kemampuan membaca atau disleksia. Disamping gangguan tersebut, sebetulnya kita perlu mengenal gangguan belajar lainnya yang menyangkut kemampuan berhitung (diskalkulia) dan menulis (disgrafia).
DISKALKULIA
Menurut Jacinta F. Rini, M.Psi, dari Harmawan Consulting, Jakarta, diskalkulia dikenal juga dengan istilah "math difficulty" karena menyangkut gangguan pada kemampuan kalkulasi secara matematis. Kesulitan ini dapat ditinjau secara kuantitatif yang terbagi menjadi bentuk kesulitan berhitung (counting) dan mengkalkulasi (calculating). Anak yang bersangkutan akan menunjukkan kesulitan dalam memahami proses-proses matematis. Hal ini biasanya ditandai dengan munculnya kesulitan belajar dan mengerjakan tugas yang melibatkan angka ataupun simbol matematis.
CIRI-CIRI
Inilah beberapa hal yang bisa dijadikan pegangan:
1. Tingkat perkembangan bahasa dan kemampuan lainnya normal, malah seringkali mempunyai memori visual yang baik dalam merekam kata-kata tertulis.
2. Sulit melakukan hitungan matematis. Contoh sehari-harinya, ia sulit menghitung transaksi (belanja), termasuk menghitung kembalian uang. Seringkali anak tersebut jadi takut memegang uang, menghindari transaksi, atau apa pun kegiatan yang harus melibatkan uang.
3. Sulit melakukan proses-proses matematis, seperti menjumlah, mengurangi, membagi, mengali, dan sulit memahami konsep hitungan angka atau urutan.
4. Terkadang mengalami disorientasi, seperti disorientasi waktu dan arah. Si anak biasanya bingung saat ditanya jam berapa sekarang. Ia juga tidak mampu membaca dan memahami peta atau petunjuk arah.
5. Mengalami hambatan dalam menggunakan konsep abstrak tentang waktu. Misalnya, ia bingung dalam mengurut kejadian masa lalu atau masa mendatang.
6. Sering melakukan kesalahan ketika melakukan perhitungan angka-angka, seperti proses substitusi, mengulang terbalik, dan mengisi deret hitung serta deret ukur.
7. Mengalami hambatan dalam mempelajari musik, terutama karena sulit memahami notasi, urutan nada, dan sebagainya.
8. Bisa juga mengalami kesulitan dalam aktivitas olahraga karena bingung mengikuti aturan main yang berhubungan sistem skor.
FAKTOR PENYEBAB
Ada beberapa faktor yang melatarbelakangi gangguan ini, di antaranya:
1. Kelemahan pada proses penglihatan atau visual
Anak yang memiliki kelemahan ini kemungkinan besar akan mengalami diskalkulia. Ia juga berpotensi mengalami gangguan dalam mengeja dan menulis dengan tangan.
2. Bermasalah dalam hal mengurut informasi
Seorang anak yang mengalami kesulitan dalam mengurutkan dan mengorganisasikan informasi secara detail, umumnya juga akan sulit mengingat sebuah fakta, konsep ataupun formula untuk menyelesaikan kalkulasi matematis. Jika problem ini yang menjadi penyebabnya, maka anak cenderung mengalami hambatan pada aspek kemampuan lainnya, seperti membaca kode-kode dan mengeja, serta apa pun yang membutuhkan kemampuan mengingat kembali hal-hal detail.
3. Fobia matematika
Anak yang pernah mengalami trauma dengan pelajaran matematika bisa kehilangan rasa percaya dirinya. Jika hal ini tidak diatasi segera, ia akan mengalami kesulitan dengan semua hal yang mengandung unsur hitungan.
CARA PENANGGULANGAN
Diagnosa diskalkulia harus dilakukan oleh spesialis yang berkompeten di bidangnya berdasarkan serangkaian tes dan observasi yang valid dan terpercaya. Bentuk terapi atau treatment yang akan diberikan pun harus berdasarkan evaluasi terhadap kemampuan dan tingkat hambatan anak secara detail dan menyeluruh.
Bagaimanapun, kesulitan ini besar kemungkinan terkait dengan kesulitan dalam aspek-aspek lainnya, seperti disleksia. Perbedaan derajat hambatan akan membedakan tingkat treatment dan strategi yang diterapkan. Selain penanganan yang dilakukan ahli, orang tua pun disarankan melakukan beberapa latihan yang dapat mengurangi gangguan belajar, yaitu:
1. Cobalah memvisualisasikan konsep matematis yang sulit dimengerti, dengan menggunakan gambar ataupun cara lain untuk menjembatani langkah-langkah
atau urutan dari proses keseluruhannya.
2. Bisa juga dengan menyuarakan konsep matematis yang sulit dimengerti dan minta si anak mendengarkan secara cermat. Biasanya anak diskalkulia tidak mengalami kesulitan dalam memahami konsep secara verbal.
3. Tuangkan konsep matematis ataupun angka-angka secara tertulis di atas kertas agar anak mudah melihatnya dan tidak sekadar abstrak. Atau kalau perlu, tuliskan urutan angka-angka itu untuk membantu anak memahami konsep setiap angka sesuai dengan urutannya.
4. Tuangkan konsep-konsep matematis dalam praktek serta aktivitas sederhana sehari-hari. Misalnya, berapa sepatu yang harus dipakainya jika bepergian, berapa potong pakaian seragam sekolahnya dalam seminggu, berapa jumlah kursi makan yang diperlukan jika disesuaikan dengan anggota keluarga yang ada, dan sebagainya.
5. Sering-seringlah mendorong anak melatih ingatan secara kreatif, entah dengan cara menyanyikan angka-angka, atau cara lain yang mempermudah menampilkan ingatannya tentang angka.
6. Pujilah setiap keberhasilan, kemajuan atau bahkan usaha yang dilakukan oleh anak.
7. Lakukan proses asosiasi antara konsep yang sedang diajarkan dengan kehidupan nyata sehari-hari, sehingga anak mudah memahaminya.
8. Harus ada kerja sama terpadu antara guru dan orang tua untuk menentukan strategi belajar di kelas, memonitor perkembangan dan kesulitan anak, serta melakukan tindakan-tindakan yang perlu untuk memfasilitasi kemajuan anak. Misalnya, guru memberi saran tertentu pada orang tua dalam menentukan tugas di rumah, buku-buku bacaan, serta latihan yang disarankan.
DISGRAFIA
Kelainan neurologis ini menghambat kemampuan menulis yang meliputi hambatan secara fisik, seperti tidak dapat memegang pensil dengan mantap ataupun tulisan tangannya buruk. Anak dengan gangguan disgrafia sebetulnya mengalami kesulitan dalam mengharmonisasikan ingatan dengan penguasaan gerak ototnya secara otomatis saat menulis huruf dan angka.
Kesulitan dalam menulis biasanya menjadi problem utama dalam rangkaian gangguan belajar, terutama pada anak yang berada di tingkat SD. Kesulitan dalam menulis seringkali juga disalahpersepsikan sebagai kebodohan oleh orang tua dan guru. Akibatnya, anak yang bersangkutan frustrasi karena pada dasarnya ia ingin sekali mengekspresikan dan mentransfer pikiran dan pengetahuan yang sudah didapat ke dalam bentuk tulisan. Hanya saja ia memiliki hambatan.
Sebagai langkah awal dalam menghadapinya, orang tua harus paham bahwa disgrafia bukan disebabkan tingkat intelegensi yang rendah, kemalasan, asal-asalan menulis, dan tidak mau belajar. Gangguan ini juga bukan akibat kurangnya perhatian orang tua dan guru terhadap si anak, ataupun keterlambatan proses visual motoriknya.
CIRI-CIRI
Ada beberapa ciri khusus anak dengan gangguan ini. Di antaranya adalah:
1. Terdapat ketidakkonsistenan bentuk huruf dalam tulisannya.
2. Saat menulis, penggunaan huruf besar dan huruf kecil masih tercampur.
3. Ukuran dan bentuk huruf dalam tulisannya tidak proporsional.
4. Anak tampak harus berusaha keras saat mengkomunikasikan suatu ide, pengetahuan, atau pemahamannya lewat tulisan.
5. Sulit memegang bolpoin maupun pensil dengan mantap. Caranya memegang alat tulis seringkali terlalu dekat bahkan hampir menempel dengan kertas.
6. Berbicara pada diri sendiri ketika sedang menulis, atau malah terlalu memperhatikan tangan yang dipakai untuk menulis.
7. Cara menulis tidak konsisten, tidak mengikuti alur garis yang tepat dan proporsional.
8. Tetap mengalami kesulitan meskipun hanya diminta menyalin contoh tulisan yang sudah ada.
MEMBANTU ANAK DISGRAFIA
Ada beberapa hal yang bisa dilakukan orang tua untuk membantu anak dengan gangguan ini. Di antaranya:
1. Pahami keadaan anak
Sebaiknya pihak orang tua, guru, atau pendamping memahami kesulitan dan keterbatasan yang dimiliki anak disgrafia. Berusahalah untuk tidak membandingkan anak seperti itu dengan anak-anak lainnya. Sikap itu hanya akan membuat kedua belah pihak, baik orang tua/guru maupun anak merasa frustrasi dan stres. Jika memungkinkan, berikan tugas-tugas menulis yang singkat saja. Atau bisa juga orang tua
meminta kebijakan dari pihak sekolah untuk memberikan tes kepada anak dengan gangguan ini secara lisan, bukan tulisan.
2. Menyajikan tulisan cetak
Berikan kesempatan dan kemungkinan kepada anak disgrafia untuk belajar menuangkan ide dan konsepnya dengan menggunakan komputer atau mesin tik. Ajari dia untuk menggunakan alat-alat agar dapat mengatasi hambatannya. Dengan menggunakan komputer, anak bisa memanfaatkan sarana korektor ejaan agar ia mengetahui kesalahannya.
3. Membangun rasa percaya diri anak
Berikan pujian wajar pada setiap usaha yang dilakukan anak. Jangan sekali-kali menyepelekan atau melecehkan karena hal itu akan membuatnya merasa rendah diri dan frustrasi. Kesabaran orang tua dan guru akan membuat anak tenang dan sabar terhadap dirinya dan terhadap usaha yang sedang dilakukannya.
4. Latih anak untuk terus menulis
Libatkan anak secara bertahap, pilih strategi yang sesuai dengan tingkat kesulitannya untuk mengerjakan tugas menulis. Berikan tugas yang menarik dan memang diminatinya, seperti menulis surat untuk teman, menulis pada selembar kartu pos, menulis pesan untuk orang tua, dan sebagainya. Hal ini akan meningkatkan kemampuan menulis anak disgrafia dan membantunya menuangkan konsep abstrak tentang huruf dan kata dalam bentuk tulisan konkret.
GANGGUAN BELAJAR
DEFINISI
Gangguan belajar meliputi kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademi.
Gangguan belajar sangat berbeda dari keterlambatan mental dan terjadi dengan normal atau bahkan fungsi intelektual tinggi. Gangguan belajar hanya mempengaruhi fungsi tertentu, sedangkan pada anak dengan keterlambatan mental, kesulitan mempengaruhi fungsi kognitif secara luas. Terdapat tiga jenis gangguan belajar : gangguan membaca, gangguan menuliskan ekspresi, dan gangguan matematik. Dengan demikian, seorang anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan memahami dan mempelajari matematika yang signifikan, tetapi tidak memiliki kesulitan untuk membaca, menulis, dan melakukan dengan baik pada subjek yang lain. Diseleksia adalah gangguan belajar yang paling dikenal. Gangguan belajar tidak termasuk masalah belajar yang disebabkan terutama masalah penglihatan, pendengaran, koordinasi, atau gangguan emosional.
PENYEBAB
Meskipun penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang.
Diperkirakan 3 sampai 15% anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar.
Kebanyakan anak dengan masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan psikologis pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak dengan jenis gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan baik, menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang lama.
GEJALA
Anak kecil kemungkinan lambat untuk mempelajari nama-nama warna atau huruf, untuk menyebutkan kata-kata untuk objek yang dikenal, untuk menghitung, dan untuk kemajuan pada awal keahlian belajar lain. Belajar untuk membaca dan menulis kemungkinan tertunda. Gejala-gejala lain dapat berupa perhatian dengan jangka waktu yang pendek dan kemampuan yang kacau, berhenti bicara, dan ingatan dengan jangka waktu yang pendek. Anak tersebut bisa mengalami kesulitan dengan aktifitas yang membutuhkan koordinasi motor yang baik, seperti mencetak dan mengkopi.
Anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan komunikasi. Beberapa anak mulanya menjadi frustasi dan kemudian mengalami masalah tingkah laku, seperti menjadi mudah kacau, hiperaktif, menarik diri, malu, atau agresif.
DIAGNOSA
Anak yang tidak membaca atau belajar pada tingkatan yang diharapkan untuk kemampuan verbal atau kecerdasan harus dievaluasi. Pemeriksaan pendengaran dan penglihatan harus dijalankan, karena masalah pikiran sehat ini bisa juga berhubungan dengan keahlian membaca dan menulis.
Dokter meneliti anak tersebut untuk berbagai gangguan fisik. Anak tersebut melakukan rangkaian tes kecerdasan, baik verbal maupun non verbal, dan tes akademik pada membaca, menulis, dan keahlian aritmatik.
PENGOBATAN
Pengobatan yang paling berguna untuk gangguan belajar adalah pendidikan yang secara hati-hati disesuaikan dengan individu anak. Cara seperti membatasi makanan aditif, menggunakan vitamin dalam jumlah besar, dan menganalisa sistem anak untuk trace mineral seringkali dicoba tetapi tidak terbukti. Tidak ada obat-obatan yang cukup efektif pada pencapaian akademis, intelegensi, dan kemampuan pembelajaran umum. Karena beberapa anak dengan gangguan belajar juga mengalami ADHD, obat-obatan tertentu, seperti methylphenidate, bisa meningkatkan perhatian dan konsentrasi, meningkatkan kemampuan anak untuk belajar.
Gangguan belajar meliputi kemampuan untuk memperoleh, menyimpan, atau menggunakan keahlian khusus atau informasi secara luas, dihasilkan dari kekurangan perhatian, ingatan, atau pertimbangan dan mempengaruhi performa akademi.
Gangguan belajar sangat berbeda dari keterlambatan mental dan terjadi dengan normal atau bahkan fungsi intelektual tinggi. Gangguan belajar hanya mempengaruhi fungsi tertentu, sedangkan pada anak dengan keterlambatan mental, kesulitan mempengaruhi fungsi kognitif secara luas. Terdapat tiga jenis gangguan belajar : gangguan membaca, gangguan menuliskan ekspresi, dan gangguan matematik. Dengan demikian, seorang anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan memahami dan mempelajari matematika yang signifikan, tetapi tidak memiliki kesulitan untuk membaca, menulis, dan melakukan dengan baik pada subjek yang lain. Diseleksia adalah gangguan belajar yang paling dikenal. Gangguan belajar tidak termasuk masalah belajar yang disebabkan terutama masalah penglihatan, pendengaran, koordinasi, atau gangguan emosional.
PENYEBAB
Meskipun penyebab gangguan belajar tidak sepenuhnya dimengerti. Mereka termasuk kelainan pada proses dasar yang berhubungan dalam memahami atau menggunakan ucapan atau penulisan bahasa atau numerik dan pertimbangan ruang.
Diperkirakan 3 sampai 15% anak bersekolah di Amerika Serikat memerlukan pelayanan pendidikan khusus untuk menggantikan gangguan belajar. Anak laki-laki dengan gangguan belajar bisa melebihi anak gadis lima banding satu, meskipun anak perempuan seringkali tidak dikenali atau terdiagnosa mengalami gangguan belajar.
Kebanyakan anak dengan masalah tingkah laku tampak kurang baik di sekolah dan diperiksa dengan psikologis pendidikan untuk gangguan belajar. Meskipun begitu, beberapa anak dengan jenis gangguan belajar tertentu menyembunyikan gangguan mereka dengan baik, menghindari diagnosa, dan oleh karena itu pengobatan, perlu waktu yang lama.
GEJALA
Anak kecil kemungkinan lambat untuk mempelajari nama-nama warna atau huruf, untuk menyebutkan kata-kata untuk objek yang dikenal, untuk menghitung, dan untuk kemajuan pada awal keahlian belajar lain. Belajar untuk membaca dan menulis kemungkinan tertunda. Gejala-gejala lain dapat berupa perhatian dengan jangka waktu yang pendek dan kemampuan yang kacau, berhenti bicara, dan ingatan dengan jangka waktu yang pendek. Anak tersebut bisa mengalami kesulitan dengan aktifitas yang membutuhkan koordinasi motor yang baik, seperti mencetak dan mengkopi.
Anak dengan gangguan belajar bisa mengalami kesulitan komunikasi. Beberapa anak mulanya menjadi frustasi dan kemudian mengalami masalah tingkah laku, seperti menjadi mudah kacau, hiperaktif, menarik diri, malu, atau agresif.
DIAGNOSA
Anak yang tidak membaca atau belajar pada tingkatan yang diharapkan untuk kemampuan verbal atau kecerdasan harus dievaluasi. Pemeriksaan pendengaran dan penglihatan harus dijalankan, karena masalah pikiran sehat ini bisa juga berhubungan dengan keahlian membaca dan menulis.
Dokter meneliti anak tersebut untuk berbagai gangguan fisik. Anak tersebut melakukan rangkaian tes kecerdasan, baik verbal maupun non verbal, dan tes akademik pada membaca, menulis, dan keahlian aritmatik.
PENGOBATAN
Pengobatan yang paling berguna untuk gangguan belajar adalah pendidikan yang secara hati-hati disesuaikan dengan individu anak. Cara seperti membatasi makanan aditif, menggunakan vitamin dalam jumlah besar, dan menganalisa sistem anak untuk trace mineral seringkali dicoba tetapi tidak terbukti. Tidak ada obat-obatan yang cukup efektif pada pencapaian akademis, intelegensi, dan kemampuan pembelajaran umum. Karena beberapa anak dengan gangguan belajar juga mengalami ADHD, obat-obatan tertentu, seperti methylphenidate, bisa meningkatkan perhatian dan konsentrasi, meningkatkan kemampuan anak untuk belajar.
Senin, 29 Maret 2010
Autis
Autisme adalah suatu kondisi mengenai seseorang sejak lahir ataupun saat masa balita, yang membuat dirinya tidak dapat membentuk hubungan sosial atau komunikasi yang normal. Akibatnya anak tersebut terisolasi dari manusia lain dan masuk dalam dunia repetitive, aktivitas dan minat yang obsesif. (Baron-Cohen, 1993). Menurut Power (1989) karakteristik anak dengan autisme adalah adanya 6 gangguan dalam bidang:
* interaksi sosial,
* komunikasi (bahasa dan bicara),
* perilaku-emosi,
* pola bermain,
* gangguan sensorik dan motorik
* perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
* interaksi sosial,
* komunikasi (bahasa dan bicara),
* perilaku-emosi,
* pola bermain,
* gangguan sensorik dan motorik
* perkembangan terlambat atau tidak normal.
Gejala ini mulai tampak sejak lahir atau saat masih kecil; biasanya sebelum anak berusia 3 tahun.
Autisme dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder R-IV merupakan salah satu dari lima jenis gangguan dibawah payung PDD (Perpasive Development Disorder) di luar ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) dan ADD (Attention Deficit Disorder). Gangguan perkembangan perpasiv (PDD) adalah istilah yang dipakai untuk menggambarkan beberapa kelompok gangguan perkembangan di bawah (umbrella term) PDD, yaitu:
1. Autistic Disorder (Autism) Muncul sebelum usia 3 tahun dan ditunjukkan adanya hambatan dalam interaksi sosial, komunikasi dan kemampuan bermain secara imaginatif serta adanya perilaku stereotip pada minat dan aktivitas.
2. Asperger’s Syndrome Hambatan perkembangan interaksi sosial dan adanya minat dan aktivitas yang terbatas, secara umum tidak menunjukkan keterlambatan bahasa dan bicara, serta memiliki tingkat intelegensia rata-rata hingga di atas rata-rata.
3. Pervasive Developmental Disorder – Not Otherwise Specified (PDD-NOS) Merujuk pada istilah atypical autism, diagnosa PDD-NOS berlaku bila seorang anak tidak menunjukkan keseluruhan kriteria pada diagnosa tertentu (Autisme, Asperger atau Rett Syndrome).
4. Rett’s Syndrome Lebih sering terjadi pada anak perempuan dan jarang terjadi pada anak laki-laki. Sempat mengalami perkembangan yang normal kemudian terjadi kemunduran/kehilangan kemampuan yang dimilikinya; kehilangan kemampuan fungsional tangan yang digantikan dengan gerakkan-gerakkan tangan yang berulang-ulang pada rentang usia 1 – 4 tahun.
5. Childhood Disintegrative Disorder (CDD) Menunjukkan perkembangan yang normal selama 2 tahun pertama usia perkembangan kemudian tiba-tiba kehilangan kemampuan-kemampuan yang telah dicapai sebelumnya.
Diagnosa Perpasive Develompmental Disorder Not Otherwise Specified (PDD – NOS) umumnya digunakan atau dipakai di Amerika Serikat untuk menjelaskan adanya beberapa karakteristik autisme pada seseorang (Howlin, 1998: 79). National Information Center for Children and Youth with Disabilities (NICHCY) di Amerika Serikat menyatakan bahwa Autisme dan PDD – NOS adalah gangguan perkembangan yang cenderung memiliki karakteristik serupa dan gejalanya muncul sebelum usia 3 tahun. Keduanya merupakan gangguan yang bersifat neurologis yang mempengaruhi kemampuan berkomunikasi, pemahaman bahasa, bermain dan kemampuan berhubungan dengan orang lain. Ketidakmampuan beradaptasi pada perubahan dan adanya respon-respon yang tidak wajar terhadap pengalaman sensoris seringkali juga dihubungkan pada gejala autisme.
Kamis, 11 Maret 2010
cacat mental
Ada banyak permasalahan yang dialami oleh anak cacat khususnya cacat mental, mulai dari diskriminasi hukum, sosial, pernikahan atau yang lainnya, belum lagi masalah psikologis yang menimpa kedua orang tuanya, bahkan ada sebagian orang tua yang menyembunyikan dan menutup-nutupi anaknya yang cacat dengan alasan mempunyai anak cacat adalah aib keluarga.
Belum lagi masalah pengasuhan dan pengajarannya, berdasarkan salah satu artikel disebutkan bahwasanya mendidik anak cacat dibutuhkan sebuah kesabaran dan pengulangan pengajaran berkali-kali, hal tersebut tidak lepas dari kemampuan anak cacat mental yang kemampuan IQ nya dibawah rata-rata anak normal pada umumnya. Kasus lain yaitu ketika penulis mengunjungi salah satu SLBN di Yogyakarta, ditemukan seorang siswa yang emosi marahnya sangat tinggi, sehingga para pendidiknya sangat kesulitan dalam mengatasi emosinya tersebut.
Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengajukan sebuah pertanyaan untuk dijadikan sebagai rumusan masalah yaitu: bagaimana metode pengasuhan yang dilakukan orang tua dalam menangani emosi anak cacat mental (tuna grahita)? Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dapat dihasilkan penemuan bahwasanya emosi yang ditampakkan Adis (putri bapak Wasno) hampir sama dengan emosi yang ditampakkan Isti (putri bapak Sakirman) diantaranya adalah emosi marahnya muncul ketika diganggu orang lain, ketika mendapatkan perlakuan berbeda dengan saudaranya, kemudian emosi takutnya Adis muncul ketika ia diajak ketempat-tempat keramaian yang terdapat suara-suara yang keras (sound system), binatang, boneka besar, sedangkan pada Isti tidak terbesit sedikitpun rasa takut pada sesuatu. Sedangkan untuk emosi sedih, anak akan bersedih ketika ia ditinggal bepergian dan ketika keinginannya tidak terpenuhi. Metode yang diterapkan orang tua untuk menangani emosinya adalah dengan cara nasehat dan penjelasan disaat emosi takut, marah dan sedihnya muncul sebagai langkah awalnya, kemudian paksaan, pelukan serta membiarkannya emosi tersebut berlalu dengan sendirinya merupakan metode lanjutan yang digunakan untuk menangani emosi anak.
Harapannya, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi para orang tua terutama dalam menghadapi gejolak emosi anak cacat mental, karena pengasuhan diwaktu kecil akan berdampak pada perilaku dan pola pikir seseorang kelak.
Belum lagi masalah pengasuhan dan pengajarannya, berdasarkan salah satu artikel disebutkan bahwasanya mendidik anak cacat dibutuhkan sebuah kesabaran dan pengulangan pengajaran berkali-kali, hal tersebut tidak lepas dari kemampuan anak cacat mental yang kemampuan IQ nya dibawah rata-rata anak normal pada umumnya. Kasus lain yaitu ketika penulis mengunjungi salah satu SLBN di Yogyakarta, ditemukan seorang siswa yang emosi marahnya sangat tinggi, sehingga para pendidiknya sangat kesulitan dalam mengatasi emosinya tersebut.
Berdasarkan latar belakang itulah penulis mengajukan sebuah pertanyaan untuk dijadikan sebagai rumusan masalah yaitu: bagaimana metode pengasuhan yang dilakukan orang tua dalam menangani emosi anak cacat mental (tuna grahita)? Dengan menggunakan metode deskriptif kualitatif dapat dihasilkan penemuan bahwasanya emosi yang ditampakkan Adis (putri bapak Wasno) hampir sama dengan emosi yang ditampakkan Isti (putri bapak Sakirman) diantaranya adalah emosi marahnya muncul ketika diganggu orang lain, ketika mendapatkan perlakuan berbeda dengan saudaranya, kemudian emosi takutnya Adis muncul ketika ia diajak ketempat-tempat keramaian yang terdapat suara-suara yang keras (sound system), binatang, boneka besar, sedangkan pada Isti tidak terbesit sedikitpun rasa takut pada sesuatu. Sedangkan untuk emosi sedih, anak akan bersedih ketika ia ditinggal bepergian dan ketika keinginannya tidak terpenuhi. Metode yang diterapkan orang tua untuk menangani emosinya adalah dengan cara nasehat dan penjelasan disaat emosi takut, marah dan sedihnya muncul sebagai langkah awalnya, kemudian paksaan, pelukan serta membiarkannya emosi tersebut berlalu dengan sendirinya merupakan metode lanjutan yang digunakan untuk menangani emosi anak.
Harapannya, penelitian ini dapat memberikan sumbangsih bagi para orang tua terutama dalam menghadapi gejolak emosi anak cacat mental, karena pengasuhan diwaktu kecil akan berdampak pada perilaku dan pola pikir seseorang kelak.
PENYEBAB AUTIS
Penyebab autis belum diketahui secara pasti. Beberapa ahli menyebutkan autis disebabkan karena multifaktorial. Beberapa peneliti mengungkapkan terdapat gangguan biokimia, ahli lain berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh gangguan psikiatri/jiwa. Ahli lainnya berpendapat bahwa autisme disebabkan oleh karena kombinasi makanan yang salah atau lingkungan yang terkontaminasi zat-zat beracun yang mengakibatkan kerusakan pada usus besar yang mengakibatkan masalah dalam tingkah laku dan fisik termasuk autis.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin.
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penderita autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..
Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autisme terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Beberapa teori yang didasari beberapa penelitian ilmiah telah dikemukakan untuk mencari penyebab dan proses terjadinya autis. Beberapa teori penyebab autis adalah : teori kelebihan Opioid, teori Gulten-Casein (celiac), Genetik (heriditer), teori kolokistokinin, teori oksitosin Dan Vasopressin, teori metilation, teori Imunitas, teori Autoimun dan Alergi makanan, teori Zat darah penyerang kuman ke Myelin Protein Basis dasar, teori Infeksi karena virus Vaksinasi, teori Sekretin, teori kelainan saluran cerna (Hipermeabilitas Intestinal/Leaky Gut), teori paparan Aspartame, teori kekurangan Vitamin, mineral nutrisi tertentu dan teori orphanin Protein: Orphanin.
Walaupun paparan logam berat (air raksa) terjadi pada setiap anak, namun hanya sebagian kecil saja yang mengalami gejala autism. Hal ini mungkin berkaitan dengan teori genetik, salah satunya berkaitan dengan teori Metalotionin. Beberapa penelitian anak autism tampaknya didapatkan ditemukan adanya gangguan netabolisme metalotionin. Metalotionon adalah merupakan sistem yang utama yang dimiliki oleh tubuh dalam mendetoksifikasi air raksa, timbal dan logam berat lainnya. Setiap logam berat memiliki afinitas yang berbeda terhada metalotionin. Berdasarkan afinitas tersebut air raksa memiliki afinitas yang paling kuar dengan terhadam metalotianin dibandingkan logam berat lainnya seperti tenbaga, perak atau zinc.
Berdasarkan beberapa penelitian yang telah dilaporkan para ahli menunjukkan bahwa gangguan metalotianin disebabkan oleh beberapa hal di antaranya adalah : defisiensi Zinc, jumlah logam berat yang berlebihan, defisiensi sistein, malfungsi regulasi element Logam dan kelainan genetik, antara lain pada gen pembentuk netalotianin
Perdebatan yang terjadi akhir akhir ini berkisar pada kemungkinan penyebab autis yang disebabkan oleh vaksinasi anak. Peneliti dari Inggris Andrew Wakefield, Bernard Rimland dari Amerika mengadakan penelitian mengenai hubungan antara vaksinasi terutama MMR (measles, mumps rubella ) dan autisme. Banyak penelitian lainnya yang dilakukan dengan populasi yang lebih besar dan luas memastikan bahwa imunisasi MMR tidak menyebabkan Autis. Beberapa orang tua anak penyandang autisme tidak puas dengan bantahan tersebut. Bahkan Jeane Smith seorang warga negara Amerika bersaksi didepan kongres Amerika : kelainan autis dinegeri ini sudah menjadi epidemi, dia dan banyak orang tua anak penderta autisme percaya bahwa anak mereka yang terkena autis disebabkan oleh reaksi dari vaksinasi.
Penelitian dalam jumlah besar dan luas tentunya lebih bisa dipercaya dibandingkan laporan beberapa kasus yang jumlahnya relatif tidak bermakna secara umum. Namun penelitian secara khusus pada penderita autis, memang menunjukkan hubungan tersebut meskipun bukan merupakan sebab akibat..
Banyak pula ahli melakukan penelitian dan menyatakan bahwa bibit autis telah ada jauh hari sebelum bayi dilahirkan bahkan sebelum vaksinasi dilakukan. Kelainan ini dikonfirmasikan dalam hasil pengamatan beberapa keluarga melalui gen autisme. Patricia Rodier, ahli embrio dari Amerika bahwa korelasi antara autisme dan cacat lahir yang disebabkan oleh thalidomide menyimpulkan bahwa kerusakan jaringan otak dapat terjadi paling awal 20 hari pada saat pembentukan janin. Peneliti lainnya, Minshew menemukan bahwa pada anak yang terkena autisme bagian otak yang mengendalikan pusat memory dan emosi menjadi lebih kecil dari pada anak normal. Penelitian ini menyimpulkan bahwa gangguan perkembangan otak telah terjadi pada semester ketiga saat kehamilan atau pada saat kelahiran bayi.
Karin Nelson, ahli neorology Amerika mengadakan menyelidiki terhadap protein otak dari contoh darah bayi yang baru lahir. Empat sampel protein dari bayi normal mempunyai kadar protein yang kecil tetapi empat sampel berikutnya mempunyai kadar protein tinggi yang kemudian ditemukan bahwa bayi dengan kadar protein otak tinggi ini berkembang menjadi autis dan keterbelakangan mental. Nelson menyimpulkan autisme terjadi sebelum kelahiran bayi.
Saat ini, para pakar kesehatan di negara besar semakin menaruh perhatian terhadap kelainan autis pada anak. Sehingga penelitian terhadap autism semakin pesat dan berkembang. Sebelumnya, kelainan autis hanya dianggap sebagai akibat dari perlakuan orang tua yang otoriter terhadap anaknya. Kemajuan teknologi memungkinkan untuk melakukan penelitian mengenai penyebab autis secara genetik, neuroimunologi dan metabolik. Pada bulan Mei 2000 para peneliti di Amerika menemukan adanya tumpukan protein didalam otak bayi yang baru lahir yang kemudian bayi tersebut berkembang menjadi anak autisme. Temuan ini mungkin dapat menjadi kunci dalam menemukan penyebab utama autis sehingga dapat dilakukan tindakan pencegahannya.
Jumat, 26 Februari 2010
Gangguan mood akibat kondisi medik umum
Mood didefinisikan sebagai “alam perasaan” atau “suasana perasaan” yang bersifat internal. Ekspresi eksternal dari mood disebut afek, atau “eksternal display”. Sejak lama dalam literatur psikiatri mood yang terganggu disebut gangguan afektif. Tapi kurang lebih dalam 5 tahun terakhir, gangguan afektif ini diubah namanya dengan gangguan mood. Yang paling utama dalam gangguan mood ini adalah mood yang menurun atau tertekan yang disebut depresi, dan mood yang meningkat atau ekspansif yang disebut mania (manik). Baik mood yang menurun atau terdepresi dan mood yang meningkat bersifat graduil , suatu kontinuum dari keadaan normal ke bent6uk yang jelas-jelas patologik. Pada beberapa individu gejala-gejalanya bisa disertai dengan ciri psikotik.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal sedang gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan mood yang terluhat berbeda secara kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang dipakai untuk menegakkan diagnosis depresi, selain PPDGJ-III (ICD-X) yang digunakan di RSJ-RSJ di Indonesia. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan mood (seperti murung, sedih, putus asa), diagnosis depresi dengan mudah dapat ditegakkan. Tapi bila gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus menerus, adanya gejala depresi yang melatarbelakangi sering tidak terdiagtnosis. Ada masalah yang juga dapat menutupi diagnosis depresi, misalnya individu penyalahguna alkohol atau napza untuk mengatasi depresi, atau depresi muncul dalam bentuk gangguan perilaku.
Gangguan depresi sering dijumpai. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih sering pada laki-laki terutama usia muda dan tua.
Penyebab depresi dan mania secara pasti belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan pada terjadinya gangguan mood ini, yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang berakibat stressor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti ganggtuan hormon, keseimbangan neurotransmiter, biogenik amin, dan imunologik..
Klasifikasi
Gangguan mood berbeda dalam hal manifestasi klinik, perjalanan penyakit, genetik, dan respons pengobatan. Kondisi ini dibedakan satu sama lain berdasarkan: (1) ada tidaknya mania (bipolar atau unipolar); (b) berat ringannya penyakit (mayor atau minor); (c) kondisi medik atau psikiatrik lain sebagai penyebab gangguan. Maka diklasifikasikan sebagai berikut:
(I) Gangguan mood mayor : depresi mayor dan/ atau tanda-tanda gejala manik. Gangguan Bipolar I ( manik-depresi) – mania pada masa lalu atau saat ini ( dengan atau tanpa adanya depresi atau riwayat depresi). Gangguan Bipolar II – hipomania dan depresi mayor mesti ada saat ini atau pernah ada. Gangguan Depresi Mayor- hanya depresi berat saja.
(II) Gangguan mood spesifik lainnya. Depresi minor dan/atau gejala-gejala dan tanda-tanda manik. Gangguan distimia – depresi saja. Gangguan siklotimia – depresi dan hipomanik saat atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).
(III) Gangguan mood akibat kondisi medik umum dan gangguan mood akibat zat.
(IV) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi : depresi yang disebabkan oleh stressor.
Berbagai kondisi medik dapat secara langsung menimbulkan depresi mayor dan/atau sindrom manik. Walaupun demikian, penderita-penderita yang akan berkembang mengalami sindrom depresi tidak dapat kita prediksi. Beberapa penyakit mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan depresi. Misalnya, sekitar 50% atau bahkan lebih penderita stroke mengalami depresi. Begitu pula dengan penderita kanker pankreas dan sindrom Cushing. Penyakit lain jarang yang menimbulkan depresi secara langsung. Hal ini berarti tidak semua kondisi medik umumdapat menimbulkan depresi atau manik. Gangguan mood sebagai reaksi terhadap penyakit tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan mood akibat kondisi medik umum.
Gejala-gejala ringan dapat berupa peningkatan dari kesedihan atau elasi normal sedang gejala-gejala berat dikaitkan dengan sindrom gangguan mood yang terluhat berbeda secara kualitatif dari proses normal dan membutuhkan terapi spesifik.
Depresi merupakan suatu sindrom yang ditandai dengan sejumlah gejala klinik yang manifestasinya bisa berbeda pada masing-masing individu. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM-IV) merupakan salah satu instrumen yang dipakai untuk menegakkan diagnosis depresi, selain PPDGJ-III (ICD-X) yang digunakan di RSJ-RSJ di Indonesia. Bila manifestasi gejala depresi muncul dalam bentuk keluhan yang berkaitan dengan mood (seperti murung, sedih, putus asa), diagnosis depresi dengan mudah dapat ditegakkan. Tapi bila gejala depresi muncul dalam keluhan psikomotor atau somatik seperti malas bekerja, lamban, lesu, nyeri ulu hati, sakit kepala terus menerus, adanya gejala depresi yang melatarbelakangi sering tidak terdiagtnosis. Ada masalah yang juga dapat menutupi diagnosis depresi, misalnya individu penyalahguna alkohol atau napza untuk mengatasi depresi, atau depresi muncul dalam bentuk gangguan perilaku.
Gangguan depresi sering dijumpai. Prevalensi selama kehidupan pada wanita 10%-25% dan pada laki-laki 5%-12%. Walaupun depresi lebih sering pada wanita, bunuh diri lebih sering pada laki-laki terutama usia muda dan tua.
Penyebab depresi dan mania secara pasti belum diketahui. Faktor-faktor yang diduga berperan pada terjadinya gangguan mood ini, yaitu peristiwa-peristiwa kehidupan yang berakibat stressor (problem keuangan, perkawinan, pekerjaan, dll), faktor kepribadian, genetik, dan biologik lain seperti ganggtuan hormon, keseimbangan neurotransmiter, biogenik amin, dan imunologik..
Klasifikasi
Gangguan mood berbeda dalam hal manifestasi klinik, perjalanan penyakit, genetik, dan respons pengobatan. Kondisi ini dibedakan satu sama lain berdasarkan: (1) ada tidaknya mania (bipolar atau unipolar); (b) berat ringannya penyakit (mayor atau minor); (c) kondisi medik atau psikiatrik lain sebagai penyebab gangguan. Maka diklasifikasikan sebagai berikut:
(I) Gangguan mood mayor : depresi mayor dan/ atau tanda-tanda gejala manik. Gangguan Bipolar I ( manik-depresi) – mania pada masa lalu atau saat ini ( dengan atau tanpa adanya depresi atau riwayat depresi). Gangguan Bipolar II – hipomania dan depresi mayor mesti ada saat ini atau pernah ada. Gangguan Depresi Mayor- hanya depresi berat saja.
(II) Gangguan mood spesifik lainnya. Depresi minor dan/atau gejala-gejala dan tanda-tanda manik. Gangguan distimia – depresi saja. Gangguan siklotimia – depresi dan hipomanik saat atau baru saja berlalu (secara terus menerus selama 2 tahun).
(III) Gangguan mood akibat kondisi medik umum dan gangguan mood akibat zat.
(IV) Gangguan penyesuaian dengan mood depresi : depresi yang disebabkan oleh stressor.
Berbagai kondisi medik dapat secara langsung menimbulkan depresi mayor dan/atau sindrom manik. Walaupun demikian, penderita-penderita yang akan berkembang mengalami sindrom depresi tidak dapat kita prediksi. Beberapa penyakit mempunyai kecenderungan yang tinggi untuk menimbulkan depresi. Misalnya, sekitar 50% atau bahkan lebih penderita stroke mengalami depresi. Begitu pula dengan penderita kanker pankreas dan sindrom Cushing. Penyakit lain jarang yang menimbulkan depresi secara langsung. Hal ini berarti tidak semua kondisi medik umumdapat menimbulkan depresi atau manik. Gangguan mood sebagai reaksi terhadap penyakit tidak dapat dikategorikan sebagai gangguan mood akibat kondisi medik umum.
Selasa, 23 Februari 2010
ANAK AUTIS
Memiliki anak yg menderita autis memang berat. Anak penderita autis seperti seorang yg kerasukan setan. Selain tidak mampu bersosialisasi, penderita tidak dapat mengendalikan emosinya. Kadang tertawa terbahak, kadang marah tak terkendali. Dia sendiri tdk mampu mengendalikan dirinya sendiri & memiliki gerakan2 aneh yg selalu diulang2. Selain itu dia punya ritual sendiri yg harus dilakukannya pada saat2 atau kondisi tertentu.
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:
1.Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
2.Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
3.Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
4.Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
5.Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2 penting dalam tubuh & menghancurkannya.
6.Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
7.Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
8.Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan ini. Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
1.Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
2.Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
3.Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
4.Dewasa ini penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa. Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
5.Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
6.Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin.
Perbaikan kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita
Penelitian yg intensive di dunia medis pun dilakukan oleh para ahli. Dimulai dari hipotesis sederhana sampai ke penelitian klinis lanjutan. Dan setelah banyak membaca & mengamati, saya sebagai orang awam yg sederhana ini dapat menarik kesimpulan sementara, yaitu:
1.Autis bukan karena keluarga (terutama ibu yg paling sering dituduh) yg tdk dapat mendidik penderita. Anak autis tidak memiliki minat bersosialisasi, dia seolah hidup didunianya sendiri. Dia tidak peduli dgn orang lain. Orang lain (biasanya ibunya) yg dekat dengannya hanya dianggap sebagai penyedia kebutuhan hidupnya. (Baca: Teory of Mind, yg ditulis oleh seorang autis).
2.Jarang sekali anak autis yg benar2 diakibatkan oleh faktor genetis. Alergi memang bisa saja diturunkan, tapi alergi turunan tidak berkembang menjadi autoimun seperti pada penderita autis.
3.Terjadi kegagalan pertumbuhan otak yg diakibatkan oleh keracunan logam berat seperti mercury yg banyak terdapat dalam vaksin imunisasi atau pada makanan yg dikonsumsi ibu yg sedang hamil, misalnya ikan dengan kandungan logam berat yg tinggi.
4.Terjadi kegagalan pertumbuhan otak karena nutrisi yg diperlukan dalam pertumbuhan otak tidak dapat diserap oleh tubuh, ini terjadi karena adanya jamur dalam lambungnya.
5.Terjadi autoimun pada tubuh penderita yg merugikan perkembangan tubuhnya sendiri karena zat2 yg bermanfaat justru dihancurkan oleh tubuhnya sendiri. Imun adalah kekebalan tubuh terhadap virus/bakteri pembawa penyakit. Sedangkan autoimun adalah kekebalan yg dikembangkan oleh tubuh penderita sendiri yg justru kebal terhadap zat2 penting dalam tubuh & menghancurkannya.
6.Akhirnya tubuh penderita menjadi alergi terhadap banyak zat yg sebenarnya sangat diperlukan dalam perkembangan tubuhnya. Dan penderita harus diet ekstra ketat dengan pola makan yg dirotasi setiap minggu. Soalnya jika terlalu sering & lama makan sesuatu bisa menjadikan penderita alergi terhadap sesuatu itu.
7.Autis memiliki spektrum yg lebar. Dari yg autis ringan sampai yg terberat. Termasuk di dalamnya adalah hyper-active, attention disorder, dll.
8.Kebanyakan anak autis adalah laki-laki karena tidak adanya hormon estrogen yg dapat menetralisir autismenya. Sedang hormon testoteronnya justru memperparah keadaannya. Sedikit sekali penderitanya perempuan karena memiliki hormon estrogen yg dapat memperbaikinya.
Memang berat & sangat sulit menangani anak penderita autis yg seperti kerasukan setan ini. Perlu beberapa hal yg perlu diketahui, dipahami & dilakukan, yaitu:
1.Anak autis tidak gila & tidak kerasukan setan. Penanganan harus dilakukan secara medis & teratur.
2.Penderita autis sebagian dapat sembuh dengan beberapa kondisi, yaitu: ditangani & terapi sejak dini; masih dalam spektrum ringan; mengeluarkan racun atau logam berat dalam tubuh penderita (detoxinasi).
3.Perlu pemahaman & pengetahuan tentang autis & ditunjang oleh kesabaran & rasa kasih sayang dalam keluarga penderita. Terutama bagi suami-istri karena banyak kasus anak autis menjadi penyebab hancurnya rumah tangga.
4.Dewasa ini penelitian yg berkesinambungan telah mencapai perkembangan yg luar biasa. Semakin besar harapan sembuh bagi penderita.
5.Terapi harus dilakukan terus menerus tidak terputus walau pun tingkat perkembangan perbaikan kondisi penderita dirasa tidak ada.
6.Diet harus terus dilakukan secara ketat, terus-menerus & sangat disiplin.
Perbaikan kondisi penderita karena diet berlangsung sangat lambat, tetapi pelanggaran diet dapat menghancurkan semuanya dalam waktu yg sangat cepat.
Siapa yg tidak ingin anak autisnya dapat hidup mandiri, dapat berkarya & berprestasi baik serta dapat diterima di masyarakat? Kunci terpenting adalah dengan terus berdoa kepada Tuhan agar anak dapat diberi kesembuhan & keluarga diberi kemampuan, kekuatan, kesabaran serta ketabahan dalam membesarkan & mendampingi si anak penderita autis. Juga agar diberi jalan terbaik dalam kehidupan ini agar dapat membantu & mendukung proses perbaikan perkembangan penderita
Langganan:
Postingan (Atom)