selamat datang di blogger triz_11

Jumat, 08 Oktober 2010

pos ronda

Siapa yang tak tahu pos ronda? Hampir tiap orang di Indonesia tentu tahu karena di setiap kampung di Indonesia terdapat pos ronda. Namun siapa yang tahu sejarah pos ronda? Mungkin tidak semua orang tahu. Melalui buku inilah kita jadi tahu sejarah pos ronda.


Sejarah pos ronda berawal dari pos-pos penjaga di jaman colonial. Ketika itu pos jaga berfungsi sebagai perpanjangan dari menara-menara dari kekuasaan kolonial untuk mengekang gerak pribumi. Fungsinya lebih mirip pos pengawasan terhadap pribumi yang melewati daerah tertentu. Hal serupa juga terjadi ketika Jepang berkuasa di Indonesia.

Tapi sejak era kemerdekaan bekas pos-pos penjagaan Belanda atau Jepang diambil alih oleh pribumi. Pengambilalihan itu disertai dengan perubahan fungsi. Bila pada era sebelumnya penguasa kolonial yang mengawasi pribumi, maka sejak era kemerdekaan orang Belanda atau Jepang yang diawasi.
Gardu mengalami perubahan fungsi lagi di era presiden Soeharto berkuasa. Gardu lagi-lagi menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Keberadaan gardu mengukuhkan bentuk militerisme dalam kemasan yang lebih sederhana dan terasa merakyat. Soeharto menerapkan model pertahanan semesta yang berfungsi sebagai pendukung legitimasi kekuasaaannya dengan dalih Sistem Keamanan Lingkungan (Sisklamling).

Setelah Soeharto lengser pada 1998, gardu-gardu baru muncul ketika Indonesia menghadapi pemilihan umum 1999. Posko-posko Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menandai lahirnya sejarah gardu baru Indonesia sekaligus memberi makna baru.

Posko PDIP didirikan untuk menandai “kandang banteng”. Ketika itu posko PDIP menandai kekuasaan politik Megawati. Selain posko PDIP, biasanya juga didirikan podium. Podium adalah panggung setinggi 3-5 meter yang mengingatkan orang kepada tempat pidato Soekarno. Seperti diketahui, Soekarno adalah ayah Megawati, Ketua Umum PDIP yang pada 1999 sedang berjuang memenangkan pemilihan umum.

Minggu, 03 Oktober 2010

Jur. Ilm. Kel. dan Kons., Agustus 2009, p : 137-142 Vol. 2, No. 2
ISSN : 1907 - 6037
DUKUNGAN KELUARGA, PENGETAHUAN, DAN PERSEPSI IBU
SERTA HUBUNGANNYA DENGAN STRATEGI KOPING IBU
PADA ANAK DENGAN GANGGUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
Family Support, Mother’s Knowledge and Perception of ASD, and Its Correlation with
Coping Strategy of Mothers with Autism Spectrum Disorder (ASD) Children
LIA MILYAWATI1, DWI HASTUTI2*
1Program Studi Gizi Masyarakat dan Sumberdaya Keluarga, Fakultas Pertanian,
Institut Pertanian Bogor, Kampus Dramaga, Bogor 16680
2Staf Pengajar Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen, Fakultas Ekologi
Manusia, Institut Pertanian Bogor, Jalan Lingkar Kampus IPB Dramaga,
Bogor 16680
ABSTRACT. The objective of study was to understand family support, mother’s
knowledge and perception of ASD and its association with coping strategy of
mothers with ASD children. The study used a cross-sectional study design and
conducted at Sekolah Khusus AL-IHSAN in Tangerang and in Cilegon,
Banten. The samples of the study were 31 mothers with ASD children who were
participated at AL-IHSAN and were available to be interviewed. The study
conducted at February until May 2008 which included data collecting, data
processing, and data analyzing. Instrumen used in the study was a modification
of Coping Health Inventory for Parents (CHIP) by McCubbin and Patterson
(1987). Data analyzing used was descriptive statistics, paired sample T-test,
Rank-Spearman correlation, and Chi-Square. Result of the study showed that
family support was considered as low (45,2%) and high or very high (54,8%).
Mother’s knowledge mostly good, which classified as moderate and high
(93,5%), while those classified as low was only 6,5%. In term of mother’s
perception there were 45,2% mothers who still had negative perception toward
ASD child. There was differences in term of coping mechanism strategy which
was mostly to maintain family stability, optimism and cooperation at present,
while before were mostly to seek assistance for medical treatment. The younger
age of mothers and fathers, the stronger family support they received. Mother’s
perception of ASD children tend to be positive when the age of ASD children is
younger and the length of therapy is shorter. The characteristics of family,
family support, mother’s knowledge, and perception of ASD children had no
significant correlation with coping strategy used by mothers as their effort to
reduce some pressures in taking care of ASD children.
Key words: autism, coping strategy, family support, mother’s knowledge
and perception
PENDAHULUAN
Autism Spectrum Disorder (ASD)
adalah gangguan perkembangan terutama
dalam berperilaku, yang secara
umum disebabkan oleh kelainan struktur
otak atau fungsi otak. ASD ini terlihat
sebelum anak berusia tiga tahun dan
dapat diketahui dari interaksi sosial dan
komunikasi yang terbatas dan berulangulang.
Penyandang ASD semakin
meningkat di seluruh dunia. Pada tahun
2006 diperkirakan prevalensi jumlah
penyandang ASD 1:100 kelahiran (Kelana
& Elmy 2007). Di Indonesia hingga saat
ini penyandang ASD belum diketahui
secara pasti jumlahnya, akan tetapi
diperkirakan lebih dari 400.000 orang
(Kelana & Elmy 2007).
Halroyd dan Mc Arthur (1976) dalam
Tobing (2004) menyatakan bahwa ibu
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
dengan anak ASD memiliki tingkat stres
yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu
yang memiliki anak Down Syndrome.
Selain itu, orang tua dengan anak ASD
memiliki stres yang lebih besar
dibandingkan orang tua dengan anak
yang menderita kesulitan belajar
(Konstantareas 1992 dalam Tobing 2004)
dan retardasi mental (Donovan 1988
dalam Tobing 2004). Stres tersebut dapat
berpengaruh pada peran ibu terutama
dalam merawat, mengasuh, dan mendidik
anak.
Strategi koping yang efektif
diharapkan mampu mengurangi stres ibu
dalam menghadapi anak ASD sehingga
dapat melaksanakan peran pengasuhannya
dengan baik. Strategi koping keluarga
yang dikembangkan oleh McCubbin dan
Patterson (1987) yaitu Coping Health
Inventory for Parents (CHIP). Strategi
koping tersebut dibedakan ke dalam tiga
pola yaitu Pola I mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama, dan
situasi optimis; Pola II memelihara
dukungan sosial, kepercayaan diri, dan
stabilitas psikologis; Pola III memahami
situasi medis melalui komunikasi antar
orang tua dan konsultasi dengan staf
medis (McCubbin & Thompson 1987).
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui strategi koping ibu pada anak
dengan gangguan Autism Spectrum
Disorder (ASD), termasuk bentuk
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD.
Tujuan khusus dari penelitian ini
adalah: (1) mengidentifikasi karakteristik
anak dan karakteristik keluarga dari anak
ASD; (2) mengidentifikasi dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD; (3) menganalisis
perbedaan strategi koping yang
digunakan ibu pada saat ini dan pada
saat pertama mengetahui anak
mengalami gangguan ASD; (4)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga, pengetahuan, dan
persepsi ibu terhadap anak ASD; dan (5)
menganalisis hubungan antara
karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan, dan persepsi ibu
terhadap anak ASD dengan strategi
koping yang digunakan saat ini.
METODE
Desain, Tempat, dan Waktu
Desain penelitian yang digunakan
adalah cross sectional study. Penelitian
ini dilakukan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Cilegon dan Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang. Lokasi ini ditentukan secara
purposive. Penelitian dilakukan mulai
bulan Februari hingga Mei 2008 yang
meliputi pengumpulan, pengolahan, serta
analisis data.
Teknik Penarikan Contoh
Kriteria contoh dalam penelitian ini
adalah ibu yang memiliki anak ASD yang
sedang melakukan terapi di Sekolah
Khusus Al-Ihsan Cilegon dan Sekolah
Khusus Al-Ihsan Tangerang dan bersedia
untuk diwawancarai. Jumlah anak ASD di
Sekolah Khusus Al-Ihsan Cilegon adalah
20 anak dan di Sekolah Khusus Al-Ihsan
Tangerang adalah 39 anak. Jumlah anak
dari kedua tempat tersebut adalah 59
anak ASD. Jumlah contoh yang bersedia
diwawancarai dan digunakan sebagai
contoh dalam penelitian ini adalah 31 ibu
dan anaknya.
Jenis dan Pengumpulan Data
Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder. Data primer
diperoleh melalui wawancara langsung
dengan ibu dari anak ASD dengan
menggunakan kuesioner. Data primer
meliputi karakteristik anak ASD (usia dan
jenis kelamin), karakteristik keluarga (usia
contoh dan suami, lama pendidikan
contoh dan suami, jenis pekerjaan contoh
dan suami, besar dan tipe keluarga,
pendapatan keluarga), pengetahuan
contoh mengenai ASD, dukungan
keluarga, persepsi contoh terhadap ASD,
dan strategi koping. Data sekunder yaitu
mengenai keadaan umum Sekolah
Khusus Al-Ihsan meliputi profil sekolah,
jumlah terapi, identitas dan jumlah anak
ASD yang diperoleh dari Tata Usaha
Yayasan.
Pengolahan dan Analisis Data
Data primer yang diperoleh diolah
dengan menggunakan program komputer
Microsoft Excel dan SPSS (Statistical
Package for Social Sciences) 10.0 for
Windows. Proses pengolahan mencakup
langkah-langkah editing, coding, scoring,
entry, cleaning, dan analisis data.
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 139
Pengkategorian variabel dukungan
keluarga dan persepsi didasarkan pada
median skor kelompok. Pengukuran
variabel strategi koping contoh berdasarkan
pada strategi koping untuk orang tua
atau CHIP dari McCubbin dan Thompson
(1987) yang telah disesuaikan. Penentuan
kategori kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh berdasarkan pada
persentase skor jawaban untuk masingmasing
pola koping. Persentase skor
terbesar dari ketiga pola koping akan
menentukan kecenderungan pola koping
yang digunakan contoh dalam merawat
anak ASD.
Seluruh data primer yang terkumpul
kemudian dianalisis secara deskriptif. Uji
statistik yang digunakan adalah paired
sample T-test, korelasi Spearman dan
chi-square. Paired sample T-test untuk
mengetahui perbedaan antara strategi
koping contoh saat pertama mengetahui
anak menderita ASD dan saat ini. Uji
korelasi Spearman digunakan untuk
mengetahui hubungan antara karakteristik
anak dan keluarga dengan pengetahuan
contoh, dukungan keluarga, dan persepsi
contoh terhadap anak ASD. Uji chi-square
digunakan untuk melihat hubungan
strategi koping contoh berdasarkan karakteristik
keluarga, dukungan keluarga,
pengetahuan, dan persepsi contoh
terhadap anak ASD.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Karakteristik Anak
Dumas dan Nielsen (2003) menyatakan
bahwa peluang ASD pada anak lakilaki
lebih besar dibandingkan dengan
perempuan, yakni empat hingga lima kali
lebih besar dibandingkan anak perempuan.
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa 80,6% anak yang menderita ASD
adalah laki-laki dan sisanya 19,4% adalah
perempuan. Lebih dari separuh anak
(54,9%) yang menderita ASD berusia ≥96
bulan dan hanya 3,2% yang berusia 36-
47 bulan. Hampir separuh anak ASD
(45,2%) telah diterapi selama 41-88 bulan
dan 29% anak ASD telah diterapi selama
≥89 bulan.
Karakteristik Keluarga
Usia. Sebanyak 61,3% ibu contoh
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
38,0±5,73 tahun. Sebesar 45,2% suami
berusia 31-40 tahun dengan rata-rata
41,81±6,58 tahun.
Lama Pendidikan. Tingkat pendidikan
dapat mempengaruhi sikap dan
perilaku individu dalam kehidupan seharihari.
Lebih dari separuh ibu dan suami
(61,3%) menyelesaikan pendidikannya
selama ≥15 tahun atau setingkat dengan
tamat perguruan tinggi. Rata-rata lama
pendidikan ibu adalah 14,13±2,17 tahun,
sedangkan rata-rata lama pendidikan
suami adalah 14,61±2,25 tahun.
Jenis Pekerjaan. Jenis pekerjaan
dapat menggambarkan besarnya
pendapatan yang diperoleh anggota
keluarga. Sebagian besar ibu (74,2%)
tidak bekerja atau sebagai ibu rumah
tangga dan 25,8% ibu bekerja di luar
rumah, sedangkan mayoritas suami
bekerja sebagai pegawai swasta (41,9%)
dan sisanya bekerja sebagai wiraswasta
(35,6%), PNS (16,1%), dan tentara
(3,2%) serta terdapat suami yang tidak
bekerja (3,2%) dikarenakan baru saja di
PHK.
Besar dan Tipe Keluarga. Menurut
Hurlock (1991) besar keluarga
dikelompokkan menjadi tiga yaitu
keluarga kecil (≤4 orang), keluarga
sedang (5-7 orang), dan keluarga besar
(≥8 orang). Sebesar 48,4% keluarga
contoh merupakan keluarga sedang,
41,9% keluarga kecil, dan 9,7% keluarga
besar. Selain itu, contoh yang memiliki
tipe keluarga inti sebanyak 61,3% dan
38,7% memiliki tipe keluarga luas, dimana
terdapat anggota keluarga lain yang juga
tinggal bersama dengan keluarga inti
(Hurlock 1991).
Pendapatan dan Alokasi Dana
untuk Terapi ASD. Sebagian besar
keluarga contoh merupakan keluarga
dengan status sosial ekonomi yang tinggi.
Sebanyak 35,5% ibu memiliki pendapatan
keluarga sebesar Rp 2.510.000,00 -
Rp 5.000.000,00 per bulan, dan 19,4%
pendapatan keluarga sebesar
Rp 5.100.000,00 - Rp 7.500.000,00 per
bulan, serta 16,1% memiliki pendapatan
lebih dari Rp 15 juta per bulan. Dana
yang dialokasikan khusus untuk anak
ASD lebih dari Rp 1,2 juta per bulan
(41,9%). Rata-rata dana yang dialokasikan
keluarga adalah sebesar
Rp 1.484.065,00±1.323.070,72. Dana ini
digunakan untuk membayar biaya terapis
atau dokter, obat/suplemen, dan biaya
pengasuhan anak ASD per bulan.
138 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
Dukungan Keluarga
Dukungan keluarga adalah
dukungan yang diberikan oleh keluarga
baik keluarga inti maupun keluarga luas
terhadap ibu yang memiliki anak ASD.
Sebanyak 45,2% ibu mendapatkan
dukungan keluarga yang kurang kuat dan
41,9% ibu mendapatkan dukungan
keluarga yang kuat dan hanya 12,9% ibu
yang mendapatkan dukungan keluarga
sangat kuat baik dari keluarga inti
maupun keluarga luas.
Pengetahuan Ibu Mengenai ASD
Pengetahuan mengenai ASD ini
penting untuk memahami anak ASD
sehingga dapat melakukan perawatan
dengan tepat. Hasil penelitian menunjukkan
bahwa lebih dari separuh ibu (51,6%)
memiliki pengetahuan yang baik
mengenai ASD dan 41,9% ibu berpengetahuan
sedang serta hanya 6,5% ibu
yang memiliki pengetahuan kurang
mengenai ASD. Sebagian besar ibu
mengetahui bahwa ASD bukanlah suatu
penyakit keturunan dan paling banyak
penyandang ASD adalah anak laki-laki.
Sebagian besar ibu memiliki pengetahuan
yang baik mengenai makanan yang perlu
dihindari oleh anak ASD. Oleh karena itu,
para ibu melakukan diet bebas gluten
(dari sumber makanan seperti gandum,
oat, barley, makanan bertepung) dan
casein (terdapat pada susu, mentega,
keju, yoghurt, laktosa, whey, dll.) pada
anak karena gluten dan casein dapat
mengakibatkan perkembangan anak
menjadi menurun.
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Persepsi merupakan suatu hasil dari
pengalaman seseorang terhadap objek,
peristiwa atau keadaan. Oleh karena itu,
setiap individu akan memiliki persepsi
yang berbeda dalam menghadapi
masalah anak ASD. Lebih dari separuh
ibu (54,8%) memiliki persepsi yang positif
terhadap anak ASD dan 45,2% ibu yang
memiliki persepsi negatif terhadap anak
ASD.
Strategi Koping Ibu
Strategi koping merupakan suatu
usaha atau upaya tingkah laku seseorang
untuk menguasai, mengurangi, dan
menoleransi tuntutan atau masalah yang
sedang dihadapi. Lebih dari separuh ibu
(54,8%) pada saat ini menggunakan
strategi koping mempertahankan
keutuhan keluarga, kerjasama dan
optimis (pola I) dan tidak ada yang
menggunakan strategi koping dengan
memelihara dukungan sosial, kepercayaan
diri, dan stabilitas psikologis (pola II).
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Bristol (1984) dalam McCubbin dan
Thompson (1987) pun mengungkapkan
bahwa strategi koping yang dilakukan
oleh ibu yang memiliki anak ASD adalah
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis (pola I).
Sedangkan pada saat pertama kali ibu
mengetahui anak menderita ASD, lebih
dari separuh ibu (54,8%) menggunakan
strategi koping dengan memahami situasi
dan komunikasi antar orang tua ASD dan
dengan staf medis (pola III) (Tabel 1).
Perbedaan Strategi Koping
Berdasarkan hasil uji statistik
menunjukkan bahwa terdapat perbedaan
signifikan antara strategi koping saat
pertama kali mengetahui anak ASD dan
saat ini (p-value=0,070, α=0,1) (Tabel 1).
Diketahui bahwa pada saat pertama,
strategi koping yang lebih banyak
digunakan oleh ibu adalah strategi koping
pola III. Dengan berkomunikasi
Tabel 1. Sebaran strategi koping ibu saat pertama mengetahui anak ASD dan saat ini
Strategi Koping Saat Pertama Saat Ini
n % n %
Pola I : Mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan optimis 12 38,7 17 54,8
Pola II : Memelihara dukungan sosial, kepercayaan diri,
dan stabilitas psikologis 2 6,5 0 0,0
Pola III : Memahami situasi medis melalui komunikasi
antar orang tua ASD dan konsultasi dengan staf
medis
17 54,8 14 45,2
Total 31 100,0 31 100,0
p-value 0,070*
Keterangan : (*) = signifikan pada taraf alpha 0,1
Vol. 2, 2009 DUKUNGAN KELUARGA, STRATEGI KOPING IBU ASD 141
dan berkonsultasi dengan orang yang
memahami mengenai ASD ternyata
dapat memperoleh informasi dan dapat
saling bertukar pengalaman sehingga
dapat memperluas wawasan ibu
mengenai ASD. Hal tersebut dapat lebih
mempermudah ibu untuk memahami
ASD sehingga dapat menerima keadaan
anak ASD dalam keluarga.
Akan tetapi, saat ini strategi koping
yang digunakan oleh ibu adalah strategi
koping pola I. Ibu merasakan bahwa
dukungan dari keluarga ternyata lebih
dapat membantu contoh meringankan
beban dalam merawat anak ASD.
Dukungan keluarga ternyata menjadikan
ibu menjadi lebih optimis, bersemangat
dan selalu bersyukur, serta lebih percaya
diri sehingga membantu ibu meringankan
beban yang dirasakan dalam merawat
anak ASD. Selain itu, kerjasama dari
semua anggota keluarga dalam merawat
anak ASD sangat diperlukan untuk
meningkatkan kemampuan dan
kemandirian anak ASD.
Faktor yang Berhubungan dengan
Dukungan Keluarga, Pengetahuan dan
Persepsi Ibu terhadap Anak ASD
Hasil analisis hubungan antara
karakteristik keluarga dan anak dengan
dukungan keluarga menunjukkan bahwa
usia ibu berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,413, p-value=0,021) begitu pula usia
suami berhubungan negatif signifikan
dengan dukungan keluarga (r-koefisien=
-0,387, p-value=0,031). Semakin muda
usia ibu dan suami, dukungan keluarga
yang diperoleh semakin kuat. Namun,
tidak terdapat hubungan yang signifikan
antara karakteristik keluarga dan anak
dengan pengetahuan ibu mengenai ASD.
Sementara itu, usia anak ASD
berhubungan negatif signifikan dengan
persepsi ibu terhadap anak ASD
(r-koefisien=-0,464, p-value=0,008).
Begitu pula lama terapi berhubungan
negatif signifikan dengan persepsi ibu
(r-koefisien=-0,389, p-value=0,03).
Semakin muda usia anak ASD dan
semakin singkat anak ASD di terapi,
persepsi ibu terhadap anak ASD
cenderung positif.
Faktor yang Berhubungan dengan
dengan Strategi Koping Ibu
Karakteristik keluarga, dukungan
keluarga, pengetahuan serta persepsi
ibu terhadap anak ASD ternyata tidak
berhubungan signifikan dengan strategi
koping yang digunakan oleh ibu dalam
upaya meringankan tekanan yang
dihadapi dalam merawat anak ASD. Hal
ini diduga bahwa strategi koping yang
diterapkan oleh ibu berhubungan dengan
kepribadian ibu dan tingkat perkembangan
anak ASD, dimana variabel tersebut
tidak diteliti dalam penelitian ini.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Hampir separuh ibu (45,2%)
memperoleh dukungan keluarga yang
kurang kuat. Namun lebih dari separuh
ibu (51,6%) memiliki pengetahuan yang
baik mengenai ASD dan memiliki
persepsi positif terhadap anak ASD
(54,8%).
Strategi koping ibu yang banyak
digunakan pada saat pertama kali
mengetahui anak ASD adalah
memahami situasi medis melalui
komunikasi antar orang tua dan
konsultasi dengan staf medis (54,8%)
(pola III). Akan tetapi, strategi koping
yang digunakan oleh ibu pada saat ini
adalah strategi koping pola I yaitu
mempertahankan keutuhan keluarga,
kerjasama, dan situasi optimis (54,8%)
dan tidak ada yang ibu yang
menggunakan strategi koping pola II
yaitu memelihara dukungan sosial,
kepercayaan diri, dan stabilitas
psikologis. Hasil uji statistik menunjukkan
bahwa terdapat perbedaan signifikan
antara strategi koping saat pertama
dengan strategi koping yang digunakan
ibu pada saat ini.
Dukungan keluarga relatif lebih
tinggi pada ayah dan ibu dengan umur
yang lebih muda (r=-0,413 pada ibu dan
r=-0,387 pada ayah). Sementara
pengetahuan ibu tentang ASD tidak
berhubungan dengan karakteristik
keluarga maupun anak. Persepsi ibu
tentang ASD semakin baik pada anak
yang lebih muda (r=-0,464) dan pada
anak yang baru mengikuti terapi
(r=-0,389). Karakteristik keluarga dan
anak, dukungan keluarga, pengetahuan
142 MILYAWATI DAN HASTUTI Jur. Ilm. Kel. dan Kons.
serta persepsi ibu tidak berhubungan
signifikan dengan strategi koping.
Saran
Untuk penelitian selanjutnya
disarankan untuk mengambil contoh
secara acak dari populasi yang besar
dan berasal dari karakteristik keluarga
yang beragam. Untuk orang tua yang
mungkin belum bisa menerima anak ASD
atau memiliki persepsi negatif terhadap
anak ASD di dalam keluarga maka
diperlukan suatu strategi koping yang
dapat membantu ibu dalam menerima
anak ASD. Strategi koping tersebut
antara lain dengan berdoa dan bersyukur
kepada Tuhan YME, meningkatkan
kepercayaan diri dan mengontrol emosi
sehingga menciptakan rasa optimis
dalam merawat anak ASD, mendapatkan
dukungan dari semua anggota keluarga,
serta selalu mencari informasi dan
berkonsultasi dengan dokter, terapis dan
orang tua yang juga memiliki anak ASD.
Diperlukan pula kasih sayang yang tulus
dalam merawat dan melakukan terapi
dan pengobatan medis pada anak ASD.
DAFTAR PUSTAKA
Dumas JE, Nilsen WJ. 2003. Abnormal
Child and Adolescent Psychology.
Boston: Allyn and Bacon.
Kelana A, Elmy DL. 2007. Kromosom
Abnormal Penyebab Autisme
[terhubung berkala].
www.gatra.com/artikel.php?id=1028
73. [28 Agustus 2007].
McCubbin HI, Thompson AI, editor. 1987.
Family Assesment Inventories for
Research and Practice. Madison:
University of Winconsin.
Tobing LE. 2004. Stres, Coping, and
Psychological Distress of Mother of
Children with Pervasive
Development Disorders. Psychology
Journal. [15 Januari 2008].
* Korespondensi :
Departemen Ilmu Keluarga dan Konsumen
Fakultas Ekologi Manusia IPB
Jl. Lingkar Kampus IPB Dramaga 16680
Telp : +62-251 8628303
Email : tutimartianto@yahoo.com
Kerjasama antara Sekolah (guru dan terapis) dengan Orangtua dalam Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus di Sekolah Laboratorium Universitas Negeri Malan
Andryas Dwi Hardiansyah

Abstrak

ABSTRAK



Hardiansyah, Andryas Dwi. 2009. Kerjasama antara Sekolah (guru dan terapis) dengan Orangtua dalam Pembelajaran Anak Autis: Studi Kasus di Sekolah Laboratorium Universitas Negeri Malang. Skripsi, Jurusan Administrsi PendidikanFakultas Ilmu Pendidikan (FIP) Universitas Negeri Malang, Pembimbing: (I) Dra. Maisyaroh, M.Pd, (2) Dr.H. Ali Imron, M.Pd, M.Si

Kata kunci: Kerjasama, Sekolah Autis, Orangtua, Pembelajaran Anak.

Pada umumnya belum semua masyarakat seperti orang tua, para terapis, guru, bahkan pakar pendidikan pun memahami karakter anak autis. Oleh sebab itu, wajar apabila penanganannya juga masih belum tepat. Tidak sedikit orang tua dari anak autis yang tetap memaksakan kehendaknya untuk menyekolahkan anaknya ke SD umum, dengan alasan syarat umur anaknya sudah memenuhi masa sekolah. Keberadaan anak-anak autis di lingkungan masyarakat biasanya kurang dapat diterima dan cenderung dikucilkan, terlebih oleh teman sebayanya hal ini disebabkan kurangnya interaksi anak autis terhadap lingkungan sekitarnya. Untuk mengatasinya orang tua yang memiliki anak yang menderita autis akan cenderung memilih sekolah khusus yang menangani anak-anak autis.

Oleh karena itu, Yayasan Sosial dan Pendidikan Autis Universitas Negeri Malang terdorong untuk menyelenggarakan pendidikan yang menampung anak-anak yang berkebutuhan khusus, dan memberi nama Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang. Namun tanpa adanya dukungan dan kerjasama dari berbagai pihak, maka tidak mungkin keberhasilan tujuan pendidikan dan perkembangan anak akan berjalan efektif dan efisien.

Guna melihat kerjasamanya, penulis mengadakan penelitian di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dengan pendekatan kualitatif. Penelitian ini untuk mengungkap dan memaparkan: (1) kerjasama antara sekolah dengan orangtua, yang meliputi (a) peranan guru, (b) peranan terapis, (c) peranan orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua,

(3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat.

Dari hasil penelitian ini ditemukan bahwa: kerjasama antara sekolah (guru dan terapis) dengan orangtua dalam pembelajaran anak autis di Sekolah Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang telah berdampak pada pencapaian tujuan pendidikan yang telah direncanakan. Untuk lebih jelasnya penulis merinci sebagai berikut: (1) kerjasama antara guru, terapis, orangtua dalam pembelajaran anak autis dipaparkan dalam beberapa bagian, (a) peranan guru terhadap pembelajaran anak mempengaruhi perkembangan perilaku anak autis dalam kehidupan sehari-hari, (b) peranan terapis dapat membantu anak autis untuk dapat mengembangakan potensi dan penerapan terapi berdasarkan dengan kebutuhan anak, (c) peranan orangtua sangat penting, dikarenakan pembelajaran anak banyak dilakukan di rumah sehingga pembelajaran di sekolah maupun program terapi tidak akan ada artinya apabila tanpa adanya campur tangan dari orangtua, (d) bentuk kerjasama antara sekolah dengan orangtua diwujudkan dengan adanya partisipasi orangtua dalam setiap kegiatan yang diadakan sekolah, selain itu sekolah melakukan pertemuan rutin yang dijadikan sarana komunikasi dengan orangtua, (2) faktor pendukung kerjasama sekolah dengan orangtua berasal dari banyak pihak yang peduli dengan keberlangsungan pendidikan anak berkebutuhan khusus, (3) faktor penghambat hubungan kerjasama antara sekolah dengan orangtua antara lain berupa waktu dan biaya, dikarenakan kesibukan orangtua sehingga komunikasi antara sekolah dengan orangtua akan terhambat sedangkan untuk masalah biaya pendidikan bagi anak autis tidak sedikit, (4) solusi yang diambil untuk mengatasi faktor penghambat antara lain menjadwalkan pertemuan rutin dengan orangtua siswa serta membuat buku penghubung, untuk mengatasi masalah biaya sekolah mengadakan subsidi silang.

Berdasarkan kesimpulan atau hasil temuan penelitian, berikut ini dikemukakan saran bagi pihak terkait yaitu: (1) pengurus yayasan dan pelaksana Laboratorium Autis Universitas Negeri Malang dapat dijadikan sebagai bahan acuan dan pertimbangan dalam pengambilan keputusan mengenai kerjasama antara komponen di sekolah dengan pihak orang tua, (2) orang tua murid, dapat memberikan motivasi untuk lebih memperhatikan dan memberikan kasih sayang keadaan anak ketika di rumah, (3) jurusan administrasi pendidikan, dapat memberikan sumbangan pemikiran untuk lebih memperluas fungsi dari manajemen sekolah, (4) peneliti lain, dapat dijadikan sebagai sarana untuk menambah wawasan yang dijadikan sebagai referensi dan sebagai bahan pertimbangan penelitian yang sejenis

Sabtu, 02 Oktober 2010

Sindrom Down

Sindrom Down (bahasa Inggris: Down syndrome) merupakan kelainan genetik yang terjadi pada kromosom 21 pada berkas q22 gen SLC5A3,[1] yang dapat dikenal dengan melihat manifestasi klinis yang cukup khas. Kelainan yang berdampak pada keterbelakangan pertumbuhan fisik dan mental ini pertama kali dikenal pada tahun 1866 oleh Dr.John Longdon Down. Karena ciri-ciri yang tampak aneh seperti tinggi badan yang relative pendek, kepala mengecil, hidung yang datar menyerupai orang Mongoloid maka sering juga dikenal dengan mongolisme. Pada tahun 1970an para ahli dari Amerika dan Eropa merevisi nama dari kelainan yang terjadi pada anak tersebut dengan merujuk penemu pertama kali sindrom ini dengan istilah sindrom Down dan hingga kini penyakit ini dikenal dengan istilah yang sama.
Gejala atau tanda-tanda
Gejala yang muncul akibat sindrom down dapat bervariasi mulai dari yang tidak tampak sama sekali, tampak minimal sampai muncul tanda yang khas.
Penderita dengan tanda khas sangat mudah dikenali dengan adanya penampilan fisik yang menonjol berupa bentuk kepala yang relatif kecil dari normal (microchephaly) dengan bagian anteroposterior kepala mendatar. Pada bagian wajah biasanya tampak sela hidung yang datar, mulut yang mengecil dan lidah yang menonjol keluar (macroglossia). Seringkali mata menjadi sipit dengan sudut bagian tengah membentuk lipatan (epicanthal folds). Tanda klinis pada bagian tubuh lainnya berupa tangan yang pendek termasuk ruas jari-jarinya serta jarak antara jari pertama dan kedua baik pada tangan maupun kaki melebar.
Sementara itu lapisan kulit biasanya tampak keriput (dermatoglyphics). Kelainan kromosom ini juga bisa menyebabkan gangguan atau bahkan kerusakan pada sistim organ yang lain.
Pada bayi baru lahir kelainan dapat berupa congenital heart disease. kelainan ini yang biasanya berakibat fatal karena bayi dapat meninggal dengan cepat. Pada sistim pencernaan dapat ditemui kelainan berupa sumbatan pada esofagus (esophageal atresia) atau duodenum (duodenal atresia).
Apabila anak sudah mengalami sumbatan pada organ-organ tersebut biasanya akan diikuti muntah-muntah. Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi.
Pencegahan
Pencegahan dapat dilakukan dengan melakukan pemeriksaan kromosom melalui amniocentesis bagi para ibu hamil terutama pada bulan-bulan awal kehamilan. Terlebih lagi ibu hamil yang pernah mempunyai anak dengan sindrom down atau mereka yang hamil di atas usia 40 tahun harus dengan hati-hati memantau perkembangan janinnya karena mereka memiliki risiko melahirkan anak dengan sindrom down lebih tinggi. Sindrom down tidak bisa dicegah, karena DS merupakan kelainan yang disebabkan oleh kelainan jumlah kromosom. Jumlsh kromosm 21 yang harusnya cuma 2 menjadi 3. Penyebabnya masih tidak diketahui pasti, yang dapat disimpulkan sampai saat ini adalah makin tua usia ibu makin tinggi risiko untuk terjadinya DS.Diagnosis dalam kandungan bisa dilakukan, diagnosis pasti dengan analisis kromosom dengan cara pengambilan CVS (mengambil sedikit bagian janin pada plasenta) pada kehamilan 10-12 minggu) atau amniosentesis (pengambilan air ketuban) pada kehamilan 14-16 minggu.
[sunting] Pemeriksaan diagnostik
Untuk mendeteksi adanya kelainan pada kromosom, ada beberapa pemeriksaan yang dapat membantu menegakkan diagnosa ini, antara lain:
• Pemeriksaan fisik penderita
• Pemeriksaan kromosom
• Ultrasonografi (USG)
• Ekokardiogram (ECG)
• Pemeriksaan darah (Percutaneus Umbilical Blood Sampling)
[sunting] Penatalaksanaan
Sampai saat ini belum ditemukan metode pengobatan yang paling efektif untuk mengatasi kelainan ini. Pada tahap perkembangannya penderita Down syndrom juga dapat mengalami kemunduran dari sistim penglihatan, pendengaran maupun kemampuan fisiknya mengingat tonus otot-otot yang lemah. Dengan demikian penderita harus mendapatkan dukungan maupun informasi yang cukup serta kemudahan dalam menggunakan sarana atau fasilitas yang sesuai berkaitan dengan kemunduran perkembangan baik fisik maupun mentalnya. Pembedahan biasanya dilakukan pada penderita untuk mengoreksi adanya defek pada jantung, mengingat sebagian besar penderita lebih cepat meninggal dunia akibat adanya kelainan pada jantung tersebut. Dengan adanya leukemia akut menyebabkan penderita semakin rentan terkena infeksi, sehingga penderita ini memerlukan monitoring serta pemberian terapi pencegah infeksi yang adekuat.